Putri Sophia duduk di bingkai jendela besar kamar peraduannya. Termenung dengan menatap tanaman-tanaman yang telah berbunga. Istana itu seperti sangkar emas bagi dirinya si burung kecil. Ia tak pernah ingin terlahir sebagai seorang putri—tidak karena kebahagiaan tak pernah dirasakannya. Menjadi rakyat jelata dengan keluarga petani sederhana mungkin lebih baik.
Angin menerbangkan helai rambut panjangnya. Mata sang putri terpejam. Andai ia adalah angin, sudah tentu akan bisa ia mengarungi dunia. Bukannya terjebak di dalam sangkar emas. Benar pintu sangkar terbuka, namun gerakannya tetaplah terbatas. Putri Sophia hanya bisa berjalan di sekitar Paviliun Timur, tempat tinggalnya. Itupun dengan diikuti beberapa dayang dan juga pengawal.
King Stephan melihat sang putri dari sudut lain. Jenderal Maddhika berada di sebelahnya. Mereka memandang ke arah yang sama. Sebenarnya King Stephan merasa sedikit penasaran dengan Putri Sophia. Sang Putri selalu termenung, nampak sangat terbebani dengan entah apa hal tersebut, King Stephan tak mengetahuinya.
"Dia selalu terlihat muram." gumam King Stephan tanpa mengalihkan pandangannya.
"Saya dengar dari pelayan di bagian dapur, Sang Putri memang diperlakukan berbeda."
"Berbeda bagaimana maksudmu?"
"Ampun, Yang Mulia. Raja membatasi ruang gerak Putri Sophia. Sebab Sang Putri memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Menurut saya, mungkin sang putri merasa terkekang."
"Begitu." gumam King Stephan.
Putri Sophia jelas tak pernah terlihat bahagia. Sebagian cadar memang menutupi wajah hingga King Stephan tak bisa melihat ekspresinya. Namun dari kedua matanya, King Stephan bisa menilai bahwa sang putri selalu berduka.
Derap langkah terdengar. Baik King Stephan maupun Jenderal Maddhika, menggeser tubuh untuk menepi dan sedikit membungkuk atas rasa hormat terhadap raja yang berjalan ke arah mereka diikuti oleh dua orang pelayan. Rupanya sang raja berhenti di depan King Stephan.
"Zhafran."
"Saya, Yang Mulia." King Stephan mengangguk sopan.
"Mengapa kau tak menjaga Putri Sophia dan malah berkeliaran di tempat ini?"
King Stephan tidak pernah diperintah sebelumnya. Semua orang tunduk patuh padanya, mereka bicara sambil membungkuk dan dengan nada penuh penghormatan. Ketika diposisikan diri menjadi bawahan, King Stephan yang temperamental merasa tersinggung. Beruntunglah dengan cepat bisa menguasai diri.
"Ampun, Yang Mulia. Putri Sophia meminta saya untuk menjaga dari jauh."
"Begitu?"
"Benar, Yang Mulia."
"Baiklah." angguk sang raja, memandang ke arah jendela peraduan putrinya yang terbuka lebar, tempat Putri Sophia duduk dan melamun. "Sekarang katakan padanya bahwa aku menunggunya di ruang jamuan. Ada tamu untuknya."
"Baik, Yang Mulia."
Sang raja pun berlalu. King Stephan kembali ke posisinya semula.
"Sebaiknya kau tidak sering-sering menemuiku kecuali ada hal penting yang bisa kau laporkan, Jenderal."
"Baik, Yang Mulia."
King Stephan melihat ke arah Putri Sophia. Kebetulan saat itu sang putri juga tengah melihat ke arahnya. Lalu dengan gerakan perlahan, sang putri turun dari bingkai jendela itu dan menutup jendelanya rapat-rapat. King Stephan melangkah pergi, hendak menyampaikan amanah raja kepada sang putri.
Dua pengawal yang menjaga di depan pintu peraduan sang putri, mengangguk kecil padanya. Bagaimana pun, King Stephan dikenak sebagai pengawal utama Putri Sophia. Dengan kata lain pangkatnya lebih tinggi dari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King & The Healer Princess
Romance[17+] Historical romance by an amateur author is detected. 02 Mei 2018