Empat

36.6K 7K 442
                                    

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**

Aku harus makan siang sendiri. Helen dan Dini keluar sejak pagi karena ada meeting dengan klien di luar kantor. Sebenarnya aku bermaksud delivery order saja, tetapi berhubung mataku sudah lumayan capek memelototi monitor komputer, aku memutuskan turun ke restoran di lantai bawah. Sekalian cuci mata. Pertemuan dengan jodoh itu adalah misteri. Tidak menutup kemungkinan kalau momen magis itu akan terjadi hari ini, kan? Berharap itu hak yang sangat hakiki, jadi mari kita menangkupkan kedua belah tangan dan mulai berharap.

Mungkin saja dia adalah seorang laki-laki yang kelihatan bersinar dari jauh, seperti kemunculan para pemeran utama dalam anime. Saat pandangan kami bertemu, semua yang ada di sekeliling kami akan membeku dan berhenti bergerak. Diam dalam warna hitam putih. Hanya kami berdua yang tampak memiliki warna cerah, bergerak saling menyongsong. Dan hatiku lantas terketuk, "Kenzie Tedjakusuma, itu dia. Jodohmu. Belahan jiwamu. Alasan kamu dilahirkan di dunia." Kami kemudian bertemu di satu titik, saling bergenggaman tangan dan saling menatap mesra. Dia tersenyum lebar, dan aku berkaca-kaca. Lalu kami akan...

"Mbak... Mbak Kenzie, Mbak baik-baik saja?" suara itu sontak membuyarkan lamunanku. Pangeran Anime-ku menguap dan berganti dengan wajah bayi yang menyebalkan. "Saya sudah ngetuk dari tadi, tapi nggak dijawab," sambung Digda buru-buru saat melihat pelototanku. "Jadi saya masuk saja, takut Mbak Kenzie kenapa-kenapa."

"Saya baik-baik saja," sambutku masam. Dasar bayi perampok kebahagiaan orang! Aku juga tahu kalau khayalan tadi terlalu kekanakan untuk umurku, tapi namanya juga khayalan, harus yang indah-indah dan membuat senang. Aku lebih suka mengkhayalkan kembali menjadi gadis ranum berumur 20 tahun, daripada membayangkan kehidupanku 20 tahun ke depan, saat gaya gravitasi tidak mau lagi berkompromi dan telah melukis kerutan di wajah. Ketika otot sudah kendur karena kehilangan elatisitasnya.

"Beneran baik-baik saja, Mbak? Tadi bengong gitu?" Digda mengulangi pertanyaannya. Dahinya berkerut, tatapan khawatir dan tidak yakin akan jawabanku terlukis jelas di wajahnya.

Aku sebenarnya akan lebih baik kalau Digda segera keluar supaya aku bisa melanjutkan lamunanku. Wajah Pangeran Anime-ku tadi belum terlihat jelas, mungkin saja rautnya akan tampak lebih nyata dalam khayalan sesi kedua.

"Ada perlu apa?" Aku mengalihkan percakapan. Tidak mungkin juga ngobrol tentang khayalan kepada bocah ini.

"Saya mau mengajak Mbak Kenzie makan. Sekarang sudah jam istirahat." Dia tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi atasnya yang putih dan rapi. Tunggu dulu, anak ini bukan hanya melaser wajah, tetapi juga memutihkan gigi? Atau jangan sampai, hidungnya itu palsu juga. Kalau dilihat-lihat, dia memang mirip boneka plastik buatan Korea yang bisa membuat Cei, adikku tergila-gila dan rela membongkar tabungan untuk membeli tiket konser. Jenis laki-laki yang sama sekali tidak menarik minatku. "Mbak... Mbak Kenzie?"

Aku menutup mata dan menggelengkan kepala kuat-kuat, berharap apa yang baru saja kupikirkan jatuh dan berhamburan di lantai. Untuk apa juga aku repot memikirkan apa yang bayi ini lakukan dengan tubuhnya? Mau dibongkar, tanam implan sana-sini, sedot lemak atas-bawah, itu toh urusan dia sendiri.

"Saya mau makan di sini saja." Aku lebih baik kembali memelototi layar komputer daripada harus makan bersama dia. Kekesalanku karena menghadiri grand launching restoran kakaknya akhir pekan lalu belum sepenuhnya hilang.

Waktu itu, si Bayi Digda menarik lenganku saat kami sudah berada di dekat keluarganya yang sedang berdiri bergerombol sambil ngobrol.

"Ma, ini Kenzie," katanya ketika kami sampai di depan seorang perempuan setengah baya yang cantik. Ya, kalian tidak salah dengar. Kenzie. Tanpa Mbak. Aku mendadak menjadi Kenzie saja di depan ibunya. Kalau tidak ingat dia keponakan bos, aku akan melepaskan gengamannya di sikuku, dan menghantamkan tas yang kupegang di kepalanya. Barangkali saja otaknya akan kembali berfungsi dengan benar setelah kena pukulan.

"Halo, Kenzie." Perempuan itu menyodorkan pipinya saat tangan kami masih bersalaman. Mau tidak mau aku terpaksa harus ikut menempelkan pipiku. Sekarang aku tahu dari mana sikap ekstra ramah Digda berasal. Dan sekadar informasi, aku tidak suka laki-laki yang ekstra ramah. Aku lebih suka laki-laki tenang, yang bicara seperlunya saja. Laki-laki yang baru boleh banyak bicara hanya kepadaku. "Silakan langsung makan. Ayo...." Dan setelah aku bergerak menjauh, aku masih sempat mendengar dia berbisik kepada anak bayinya itu. "Beneran yang itu bos kamu? Bukannya kata kamu lebih tua, ya? Mama sudah deg-degan aja."

Itu maksudnya APA, coba??!! Wajar, kan, kalau aku jengkel setengah mati sama si Bocah Digda?

"Jadi mau makan di sini saja, Mbak?" Digda kembali membuyarkan lamunanku. Aku mengangkat kepala dan melihat anak itu sedang menekuri ponsel. "Biar saya pesan sekarang. Nah, Mbak Kenzie mau makan apa?"

"Saya nggak menyuruh kamu pesan makanan!" nadaku naik mendadak. Anak ini mirip mainan di Time Zone. Itu, mainan mesin yang dipukul pakai palu untuk ditenggelamkan, tetapi tetap saja muncul, sampai kita kehabisan koin dan kalah. Menyebalkan.

"Kan, katanya mau makan di sini?" Dia menatapku tanpa perasaan bersalah sama sekali. "Biar sekalian sama saya, Mbak. Kasihan kalau Mbak Kenzie makan sendiri. Makan sendiri itu nggak enak. Jadi, saya pesenin apa buat Mbak Kenzie?"

Aku buru-buru berdiri dan mengangkat tasku. "Saya nggak jadi makan di sini. Mau ke bawah saja biar cepat." Kalau perlu, aku akan keluar gedung, supaya bisa jauh-jauh dari bayi ini. Aku mendahuluinya keluar dari ruanganku, sengaja menutup pintu sebelum dia keluar, untuk menghambat langkahnya.

"Jadi kita makan di bawah saja, Mbak?" Beberapa detik kemudian, Bocah itu sudah berada di sisiku. Mengikuti langkahku dengan santai menuju lift.

"Saya nggak mengajak kamu!"

"Iya, Mbak, saya tahu. Tapi saya sudah memutuskan ikut."

Maksud ngana?

"Kenapa kamu nggak makan sama teman-teman kamu saja?" Aku masih berusaha menahan kekesalan supaya tidak meledak. Marah-marah tidak jelas di depan lift menunjukkan kalau manajemen emosiku amburadul. Cantik-cantik kalau dibilang sinting, apa bagusnya?

"Saya lebih suka makan bareng Mbak Kenzie sih, daripada sama mereka."

Oke, terus bertahan, Kenzie, kamu bisa! Aku merogoh tas dan mengeluarkan moisture moist dan menyemprotkannya ke wajahku. Ini sebenarnya bukan saat yang tepat, tetapi aku membutuhkannya. Aku menutup mata, menghirup aroma semprotan itu untuk menenangkan diri. Lalu membuka mata dan berusaha tersenyum. "Tapi saya nggak suka makan bareng kamu."

"Nggak apa-apa, Mbak. Lama-lama, kalau sudah biasa, nanti juga suka."

MAKSUD NGANA?

Yap, terus tarik napas, Kenzie. Pelan-pelan. Embuskan. Ini bukan apa-apa. Semua bayi-bayi yang ada di dunia ini memang dilahirkan untuk membuat ibunya putus asa saat mereka tidak berhenti menangis padahal ibunya sudah tidak tidur semalaman, dan lingkaran hitam di matanya sudah lebih mengerikan daripada panda. Anggap saja dia salah satu dari bayi itu, dan kamu adalah ibu yang tidak mungkin menyakitinya walaupun kesal. "Masalahnya, Digdaya," aku menekan kalimatku supaya terdengar serius. "Saya sama sekali nggak berniat untuk terbiasa sama kamu."

"Untuk saat ini, itu nggak masalah, Mbak. Niat orang biasanya berubah dalam perjalanan hidup. Nggak ada yang tahu juga, kan?"

MAKSUD NGANAAAA???!!

Rasanya aku butuh lebih daripada beberapa semprotan moinsture moist di wajah. Mungkin aku harus langsung membuka botolnya dan menuangkannya langsung di atas kepala.

**

Seperti biasa, part-nya emang pendek-pendek, karena aku hanya punya waktu 1-2 jam sehari untuk menulis kalau dunia nyata sedang nggak sibuk. Kalau sibuk nggak akan dipaksain, apalagi bulan Ramadan gini. Jadi aku ingatkan lagi (terutama yang baru main di lapak ini), plisss, jangan neror update-an. Atau kasih komen yang bikin mood jelek. Kalau nggak suka, cukup tinggalkan aja lapaknya. Kasian pembaca setia yang kena imbas gegara komen 1-2 orang yang bikin bete dan hilang mood nulis, dan jadi nggak update.

Jangan lupa follow Instagram @titisanaria untuk info tulisan dan novel coming soon, ya.

My Brondong Mistake - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang