LUKA SENJA

28 5 2
                                    

Hari ini Senja kembali dilanda kebimbangan, antara memilih diam atau pergi dengan membawa sejuta luka yang semakin hari semakin menggerogoti relung hatinya. Ada banyak hal yang membuatnya harus terus menerus menelan pil pahit. Iya.

Sebab hujan tak mau memberinya kesejukan lagi. Sebab angin tak mau membelainya lagi. Sebab mentari tak mau memberinya kehangatan lagi. Dan sebab malam sudah terlanjur membencinya. Pun dengan bintang-bintang, mereka seolah sudah mengabaikan dirinya. Dan gadis itu hanya mampu memendam segala kesedihannya seorang diri, tak bisa berbagi cerita kepada orang lain.

Mana ada yang mau mengerti? Dia bukanlah sosok yang suka menunjukkan kesedihannya di hadapan orang banyak, melainkan selalu menawarkan sejuta keindahan dan pesonanya. Sepahit apa pun kehidupan yang dijalaninya.

"Hhh," Senja menarik napas pelan tatkala gerimis lembut mulai berjatuhan di bumi kota Galuh. Senja kembali harus rela mengalah kepada gerimis dan tak bisa menunjukkan pesonanya. "Sabar, Senja, mungkin ini belum saatnya untuk kamu menunjukkan pesonamu. Mungkin langit masih belum puas berbagi kesedihannya," katanya sembari menadahkan kedua telapak tangan di bawah gerimis yang perlahan mulai membesar. Pertanda Senja harus berteduh, tapi di mana?

Senja diam mematung di Taman Rafflesia, tidak terdapat gazebo untuk berteduh. Ya Tuhan, begini benar nasibnya. Menunggu seseorang yang masih diragukan seratus persen kedatangannya dengan ditemani gerimis yang sebentar lagi akan berubah menjadi hujan. Sudah dapat dipastikan pertemuan mereka akan kembali menuai kegagalan. Padahal Senja sudah mengatur rencana ini jauh-jauh hari. Dia sudah tidak bisa menahan rasa rindu yang membuncah di dadanya, ingin sekali bertemu dengan sosok bermata teduh itu. Hanya dengan memikirkannya saja air mata Senja sudah berjatuhan.

Tuhan, kenapa takdir seolah mempermainkannya? Kenapa ia harus bertemu dengan sosok yang sudah membawa separuh hatinya jika pada akhirnya mereka harus terpisah? Padahal dulu, mereka begitu sangat dekat bahkan mereka sudah seperti sepasang kekasih. Hari-hari Senja selalu diwarnai dengan tawa dan keceriaan. Sosok itu sudah membuat Senja berbunga-bunga. Sosok itu sudah membawa rona baru dalam kanvas kehidupannya dan membuatnya semangat untuk menjalani hidup.

Namun, memang kehidupan itu tak selamanya berada di atas. Di saat Senja tengah menikmati kebersamaan dengan sosok itu, ia harus rela melepas kepergiannya, rela berpisah dengannya. Perpisahan menjadi jurang pemisah kisah mereka berdua. Walau berat, ia harus ikhlas demi masa depan sosok itu. Namun sayang, bukan hanya jarak yang menjadi jurang pemisah kisah mereka berdua, gadis bermata bulat itu pun harus rela berbagi kisahnya dengan orang lain. Sosok yang dikagumi ternyata memilih penikmat senja yang lain.

"Galuh," gumam Senja diantara isakannya yang jatuh bersamaan dengan hujan. Dia benar-benar tidak kuat menahan kesedihannya ketika memikirkan sosok lelaki bernama Galuh yang sudah terlanjur memenuhi seluruh ruang di hatinya.

Ia tahu, berharap kepada Galuh bukanlah hal yang mudah dan tepat. Sosok lelaki itu sulit ditebak. Dengan mudah ia bisa membuat orang di sekitarnya merasa sangat istimewa. Galuh dengan sejuta pesonanya mampu merebut hati banyak gadis. Tak hanya itu, rasa nyaman yang ia tawarkan pun sudah pasti membuat siapa saja betah berada di dekatnya. Senja sudah merasakannya sendiri sampai memasrahkan hatinya kepada lelaki itu tanpa peduli dengan luka yang dirasakannya.

Perlahan Senja melangkah menyusuri jalanan kecil di taman tersebut. Menerobos hujan yang semakin membesar. Kepalanya tertunduk pasrah. Percuma saja ia mengharapkan kehadiran Galuh. Tanpa ditanya pun, ia sudah tahu jawabannya. Galuh tidak akan datang untuknya. Memangnya siapa dirinya bagi Galuh? Senja bukanlah apa-apa. Ia hanya penawar di kala sepi melanda Galuh. Ia hanyalah obat di kala Galuh terluka. Ia hanyalah cadangan di kala Galuh membutuhkannya.

“Kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa? Kenapa aku harus sakit hati? Kenapa aku harus cemburu? Kenapa?” gumamnya lagi. Kedua bahunya berguncang akibat tangisannya yang semakin menjadi. Akhirnya ia tidak kuat menopang tubuhnya lalu jatuh terduduk. Selama beberapa saat berada dalam posisi itu, seseorang menyapa seraya memegang pundaknya.

RINAI SALJU DI BEIJINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang