Kasih Tak Sampai part.2

11 2 0
                                    

Sepertinya Acha datang terlalu pagi. Kelas masih terlihat kosong. Hanya ada Acha dan ow … bukankah itu Rania? Hmm, apa ini yang dinamakan kesempatan emas? Iya, benar. Dia harus bisa memanfaatkan momen yang sangat langka ini.  Bagaimana tidak dibilang langka, bertegur sapa saja jarang mereka lakukan.
Tanpa berpikir panjang lagi, Acha berjalan menghampiri Rania yang duduk di kursi paling pojok. Memang, Rania dan dua orang kawannya mengambil tempat duduk di barisan paling pojok. Tadinya tempat tersebut ingin dikuasai Acha tapi apalah daya, dia terlambat beberapa detik dari Rania.

Terlihat ragu Acha duduk di meja kursi yang ada di hadapan Rania. “Hai,” sapanya mencoba memberanikan diri.

“Eh, Kak Acha,” sahut Rania mengalihkan tatapan dari buku yang tengah dibacanya. “Kok, tumben sendirian? Biasanya juga sama Fadly.”

Wah, wah, belum apa-apa gadis di hadapan Acha sudah menyerempet masalah Fadly. Acha harus memutar otak supaya bisa menanyakan hal yang sudah dijanjikannya kepada Fadly. Sebagai mak comblang dia tidak mau menyerah begitu saja. Boleh saja di dalam chat dia tidak berani bertanya sebab bukan hal yang mudah untuk mendekati seorang Rania. Gadis itu seperti mempunyai benteng pertahanan yang sulit untuk ditembus. Atau mungkin karena dia tidak bisa beradaptasi dengan Rania. Iya, benar. Dilihat dari sudut manapun dia kalah bersaing dengan Rania, apalagi jika yang dibandingkan itu perihal fisik. Sudah dapat dipastikan dia tidak akan sanggup mengalahkan Rania.

Oh, ayolah, Acha! Buang dulu jauh-jauh rasa mindermu itu. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah menarik simpati Rania supaya mau bercerita tanpa harus banyak bertanya.

“Iya, Ran. Kebetulan hari ini aku diantar sama Mas Deri, suami aku, jadi aku tidak bareng sama Fadly. Kenapa? Kamu kangen sama dia?”

“Ih, apaan sih, Kak, siapa juga yang kangen sama cowok tengil kayak dia.”

“Yakin? Biarpun tengil tapi dia itu baik hati, lho. Apalagi kelihatannya dia sangat perhatian sama kamu.”

“Iya, sih, aku juga merasakannya. Tapi sepertinya dia terlambat.”

“Maksud kamu?”

“Selamat pagi semuanya.”

Acha langsung menepuk jidat tatkala suara berat namun sedikit menyebalkan itu tiba-tiba membahana ke seisi kelas. Siapa lagi kalau bukan Fadly. Lelaki yang paling mudah beradaptasi dengan siapapun.

“Ck,” Acha berdecak kesal. Kenapa dia harus muncul di saat suasana tengah menghangat seperti sekarang? Tuhan, kapan lagi ia akan mempunyai kesempatan emas ini? Duh, seandainya saja di sana hanya ada mereka berdua, Acha tidak akan segan-segan untuk mencubit perut lelaki itu seraya memakinya.

“Pagi,” sahut Rania dengan wajah sumringah seperti biasa. Sementara Acha, sama sekali tidak menghiraukan sapaan Fadly. Dia sudah terlanjur gondok. Dengan santainya, wanita itu bangkit berdiri dan berjalan menuju kursinya.

“Eh, Kak Acha, tunggu!” seru Rania yang langsung menghentikan langkah kaki Acha. Wanita yang pagi ini mengenakan t-shirt biru lengkap dengan celana jeans hitamnya itu, kembali berbalik badan. “Iya. Kenapa, Ran?” tanyanya.

“Jangan pergi dulu, Kak. Aku mau tanyain tugas yang kemarin.”

“Iya, nih, lagian buru-buru amat,” sambung Fadly yang tidak paham dengan sikap Acha tersebut. “Aku ganggu, ya.”

Sekilas Acha mendelik ke arah Fadly, kemudian dia kembali mengalihkan tatapan kepada Rania sembari mencoba untuk bersikap ramah seperti tadi. Memang, di saat suasana hati sedang tidak nyaman, sulit sekali untuk bersikap normal.

“Tugas yang mana, Ran?”

“Itu lho, Kak, yang kemarin Kakak tanyain ke aku.”

“Oh, yang itu?”

RINAI SALJU DI BEIJINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang