Untuk semua pembacaku dimanapun mereka.
...
Mataku mengerjap, memandangi gelas transparan yang berhenti di udara, hanya beberapa senti dari telapak tangan kiriku. Jadi aku berhasil. Tunggu, kalau aku berhasil berarti semua orang–
Aku refleks memutar pandangan dan yang kudapat bukanlah pandangan kaget atau terkesiap seperti yang seharusnya dilayangkan setiap orang ketika melihat kejadian yang mustahil untuk terjadi, melainkan gerakan terhenti.
Maksudku, semua orang yang ada di kafetaria mereka berhenti! Hailee terlihat kaku dengan tawa licik dan mulut terbuka lebar –yang aku yakin jika terlalu lama seperti itu akan menjatuhkan liur berlendir, tangannya terulur ke depan dengan gerakan melempar.
Di belakangnya Rebecca setengah melompat dan berhenti di udara dengan kedua kaki yang tidak menapak lantai. Sementara Lenka, nampannya sudah setengah jalan menuju lantai dengan roti isi yang seperti terbang di udara.
Aku kembali mengerjap, menggelengkan kepala kuat-kuat ketika sebuah tangan –berlapis bahan wol hitam gelap yang sangat kontras dengan kulit tangan yang ditutupinya, putih pucat dan nyaris seputih salju beku di akhir bulan Desember– menangkap gelas plastik transparan itu dari depan tanganku secepat embun meluncur jatuh di permukaan kaca.
Terlalu cepat bahkan untuk tertangkap indra penglihatan, sehingga gerakannya terlihat mengabur ketika dia menarik gelas sialan yang melayang di udara. Sosok itu berhenti sebentar sebelum memutar badannya, memperlihatkan kedua iris biru tua yang bersinar terang dengan kilat-kilat keperakan yang berkelebatan ketika tatapannya terpaku pada milikku.
‘Tidak apa-apa mencintai seseorang yang tidak balas mencintaimu, selama orang itu pantas dicintai. Selama orang itu-‘
Kalimat itu bagai baru dikirimkan dari sisi terdalam benakku, meruak keluar, membayangi dan terus berulang. Pening luar biasa menghantam belakang kepala, refleks membuatku memejamkan mata. Tapi kalimat itu terus terulang dan bahkan terdengar terlalu nyata untuk sebaris kalimat yang hanya terdengar di dalam kepala, bagai baru saja disebutkan oleh seseo-
Mataku kembali membuka dalam hitungan detik, hanya untuk menemukan seraut wajah pucat yang aneh, yang terlalu rupawan untuk menjadi manusia, berada tepat di depanku. Dan dari jarak yang seperti ini, bisa kulihat rambut hitam keperakan itu tertiup dan berkilat-kilat dengan cara yang mustahil. Kedua alisnya bagai sengaja diukir dengan tinta surga, hitam dan tebal dan terpatri tegas di wajahnya untuk menaungi kedua iris biru yang bersinar keperakan.
“Amaris Elodie.”
Dia berbisik dengan suaranya yang dalam, yang walau hanya sepintas tetap membuat debaran aneh dalam rongga dadaku. Suaranya terdengar familiar, walau aku bahkan tidak mengenal pria di depanku sama sekali. Tapi ada di bagian suaranya yang mengingatkanku akan sesuatu, sesuatu yang bahkan tidak kuketahui. Dan ketika dia mengucapkan sebaris nama yang bahkan tidak tahu milik siapa, semuanya hanya terdengar benar dan memang seharusnya.
Aku mengerjap, iris biru gelap itu masih tertuju padaku dan alis hitam tebal miliknya tetap kaku dan sedatar tatapannya. Aku baru ingin bertanya apa, mengapa, bagaimana, siapa-ku ketika seberkas cahaya menyeruak keluar, membuatku mengangkat kedua lengan untuk melindungi mata.
Dan beberapa saat kemudian, suara berisik kafetaria, jeritan Hailee dan teriakan melengking Lenka kembali berada di sekitarku. Semuanya kembali hidup, nampan Lenka sudah mencapai lantai, dan kedua kaki Rebecca sudah menapak lagi, ketika aku membuka mata.
...
Memang sedikit, tapi buat ngobatin rindu kalian sama Elodie /plak/. :)
Kee
YOU ARE READING
Half Moon: Rise of the Last Alles
VampireKetika aku tersadar bahwa aku bukan hanya seorang freak di tengah-tengah kumpulan remaja Amerika, sudah terlalu jauh aku tersesat pada dunia buatanku. Hidup di bawah bayang-bayang aura, musik dan kehidupan orang lain adalah sesuatu yang sangat berat...