Tanggal 18 Malam

76 17 0
                                    

Aku memasuki rumah dengan wajah kelelahan bersama Ade. Rumah masih kosong, kak Agas dan Kak Affan masih belum juga pulang dari rumahsakit tempat mereka melakukan penelitian. Dan kesimpulannya adalah, meja makan pasti masih kosong.

"De, masak sana, gue capek banget nih." Ucapku sembari membaringkan tubuhku disoffa ruang tamu. Ade langsung mengerutkan dahinya, sudah kutebak dia akan marah-marah. Sifat tempramennya memang sulit untuk memudar. Mungkin aku butuh pemutih untuk sedikit membuatnya luntur.

"Apaan? Lo pikir lo doang yang capek? Gue empat jam main basket tadi, pegel semua nih badan." Ia malah balas mengeluh. Rasanya ingin kutampar kalo dia bukan adikku satu-satunya.

"Lo tau nggak sih kalo gue abis ditonjok? Lo mau gue tonjok juga?" Ancaman adalah pilihan terakhir. Aku tertawa dalam hati.

"Makan diluar aja deh, Al. Sumpah, gue capek banget." Ade meninggalkanku sampai tubuhnya tak terlihat seperti tertelan anak tangga. Dan sepertinya, mau tidak mau aku harus memasak. Huh, menyebalkan memang menjadi satu-satunya wanita dirumah. Aku sudah seperti ibu saja.

Ku buka kulkas didapur untuk memilih bahan masakan. Sensasi dinginnya menerpa wajahku, segar.

"What the hell? Gue harus masak batu?" Gerutuku melihat kulkas begitu bersih. Aku lupa kalau aku belum belanja minggu ini. So, aku harus menahan lapar sampai pagi? Aku bisa menjadi kurus kering dalam semalam.

"Nggak ada yang bisa dimasak, Al?" Kak Agas tiba-tiba sudah dibelakangku tanpa kusadari kehadirannya, bersama Kak Affan yang membuntutinya. Aku menutup pintu kulkas.

"Iya nih, Kak. Cuma ada mie instan dua." Aku menunjukkan mie instan yang ada masing-masing satu di kedua telapak tanganku.

"Jangan kebanyakan mie instan, nggak bagus buat kesehatan. Mau aku cariin bahan masakan?" Tanya Kak Agas membuatku langsung berencana mengiyakannya. Tapi Kak Affan mendahului kalimatku.

"Alice pasti capek kalo suruh masak pulang sekolah gini, kita makan diluar aja, Gas. Sekalian cari suasana beda, mumpung gue masih ada kesempatan tinggal disini." Ah, iya. Kak Affan bisa membaca pikiranku, jadi ia terkesan peka dan perhatian.

"Boleh juga tuh, gue punya recommended place buat makan." Kak Agas menambahkan. Senyumku langsung mengembang seperti kue bolu yang sedang dipanggang. Senang sekali ada mereka disini, sayangnya mereka memang tak akan lama disini.

"Yaudah, aku mandi dulu ya, Kak. Seharian ini aku aktif banget." Ku letakkan mie instan itu diatas meja makan, lantas meninggalkan mereka yang terkekeh-kekeh tak jelas.

-o-

Mobil Kak Agas melaju dengan stabil dengan kemudi yang ia kendalikan, aku duduk disampingnya setelah dipaksa mati-matian oleh Kak Affan, sementara ia sendiri duduk dibelakang bersama Ade.

Suasana begitu hidup karena lelucon yang tak henti mengalir disepanjang perjalanan. Biasanya, jika hanya ada aku dan Ade, takkan terdengar suara apapun kecuali omelan yang saling bersautan antara dua kubu yang jarang sependapat ini.

Tak sampai satu jam, kita sampai di tempat yang Kak Agas rekomendasikan. Mobil terparkir sejajar dengan deretan mobil lain, dan begitu keluar dari sana, kita langsung disambut gapura indah bertuliskan Light Lake Land, dengan hiasan lampu-lampu kecil berwarna kuning disekelilingnya.

"Ini restoran, Kak?" Tanya Ade tanpa berpaling dari gapura yang terlihat bersinar ditengah gelapnya malam.

"Iya, tapi kita bisa makan ditengah danau, nanti ada sampannya. Kalo mau yang ekstrim, ada juga speedboat. Terakhir aku kesini, masih sama ayah ibu dulu." Jawab kak Agas yang tentusaja membuatku terkejut ia mengucapkan kata 'ayah ibu'. Kupikir, ia juga sedah melupakan mereka.

The OPTIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang