Tak ada lagi alasan untuknya hidup.
Itulah yang membuat seorang gadis berambut hitam legam tersebut berdiri di ujung atap sebuah rumah sakit. Bersiap mengakhiri hidupnya.
Bahkan sorot kehidupan dimatanya tak lagi terpancar.
Ia remuk.
Ia hancur.
Ia ingin segera mengakhirinya, saat ini juga.
"Hei, nona."
Sebelum gadis itu menaiki pagar pembatas, atensinya teralihkan suara berat yang memanggilnya.
"Apa yang kau lakukan disana ?" Tanya seorang pria sambil menyesap rokoknya santai. Dan dia juga mengenakan baju pasien yang sama.
"Jangan menghalangiku." Hardik si gadis tajam.
"Oh, jadi kau mau bunuh diri ?"
Ucapnya santai sambil membuang putung rokok yang semakin membuat si gadis bingung.
"Kau cantik. Kenapa tidak jadi kekasihku saja ?"
Gila!
Si gadis tak lagi mempedulikan pria sinting tersebut, ingatkan ia kalau mereka sama-sama pasien, yang tentu saja pria itu pasti sakit.
Si gadis menaiki pagar pembatas yang tentu sangat dingin, salju yang tak diinginkannya mulai menjatuhkan diri ke bumi, mengingat sekarang adalah bulan Desember.
"Nona," Panggil pria itu lagi.
"Jangan menghalangiku! Aku ingin mati!"
"Aku tak menghalangimu sejak tadi."
Tertohok.
Itu yang dirasakan si gadis sekarang, bahkan disaat-saat ia ingin mengakhiri hidupnya, ada saja orang yang membuatnya kesal.
"Lalu kenapa kau tak terjun-terjun sejak tadi ? Aku bahkan tak menghalangimu."
Tertohok, lagi.
"Lihat ? Kau bahkan tak berani, apa kau tak malu dengan merpati yang memperhatikanmu sejak tadi ?"
Kesal, sangat kesal.
Si gadis mulai memejamkan matanya, ia bahkan bersiap melepaskan genggaman tangannya pada pagar yang sangat dingin. Ia merasakan airmata disudut matanya mulai membeku, apa susahnya terjun dari gedung ini ?
Ia hanya akan terjun, lalu segera mati, dan tak akan merasakan sakit lagi. Ya, ini mudah, ia pasti bisa.
Tapi, bagaimana kalau ia tertolong, hidup lagi dan semakin menderita setiap harinya.
Tidak, itu buruk.
"Kau terlalu banyak berpikir, nona."
Si gadis membuka mata, ia bahkan masih di tempatnya berdiri. Ia melihat pria itu kini berada dibelakangnya, memegang tangannya.
"Kau kira mati bisa menyelesaikan segalanya ? Kau bodoh ya ? Apa yang akan dipikirkan oleh orang yang menginginkanmu mati ? Menyesal ? Tidak. Mereka akan tertawa di pemakamanmu, mereka akan merasa berhasil menyingkirkanmu, mereka akan merasa kau sangat lemah sehingga mudah bagi mereka menghancurkanmu, dan itu jauh lebih buruk dari kematian."
Angin bertiup semakin kencang, menerbangkan helaian surai hitam yang diiringi airmata oleh si gadis.
"Jadi, maksudmu aku harus hidup ?" Tanya si gadis gemetar.
"Ya, kau harus hidup. Setidaknya, kau buktikan pada mereka kalau kau orang yang kuat."
"Tapi aku bukan orang yang kuat. Aku tidak tahan, aku bahkan sendirian di dunia ini."
Si pria tampak berpikir.
"Yaa, intinya kau harus hidup dulu."
Tak ada sahutan dari si gadis, sampai akhirnya ia berbalik dan mengurungkan niatnya bunuh diri.
"Pilihan bagus, nona."
"Siapa namamu ?" Tanya si gadis malu-malu, lebih tepatnya ia malu atas tindakan percobaan bunuh dirinya barusan.
"Oh Sehun. Kau ?"
"Kim Jisoo."
"Kau berhutang budi padaku, Kim Jisoo."
- The Miracle We Meet -
KAMU SEDANG MEMBACA
The Miracle We Meet ✔
FanfictionKim Jisoo, seorang yatim piatu yang keluarganya sendiri sangat membencinya. Oh Sehun, anak haram dari hubungan gelap ayahnya dan wanita selingkuhannya. Bukan tentang aku, kau, atau dia, ini tentang mereka yang mencoba menghadapi kekejaman dunia bers...