Rinai | Bagian Dua

69 5 4
                                    

Biipp biip - biip biip.
Suara HP jadul NOKIA Rinai berdering, bergetar.
Tangan kecil nan kuat itu mengambil, seraya mengangkat telepon dari sahabatnya, Amira.

"Assalamu'alaikum Rin."

"Waalaikumsalam Amira. Tumben telfon, kita tadi barusan ketemu pulang sekolah, hehehe."

"Iya nih Rin, gini langsung aja ya. Besok lusa hari Minggu ada acara santunan anak yatim di mushola deket rumahku. Nah, aku disuruh Bu Ani buat cari yg bisa tartil buat buka acara. Gimana Rin, kamu bisa? Minta bantuannya ya."

"Oh, minggu ya? Bentar-bentar Ra aku coba izin ke ibuku dulu."

Rinai keluar dari kamarnya dan menghampiri ibunya yang sedang duduk di kursi rotan tua teras rumahnya.
"Bu, aku Minggu mau ke mushola gang sebelah ada acara santunan. Aku diminta bantuan buat pembukaan disana. Boleh bu?" Rinai berkata sopan kepada ibunya.
"Buat apa datang kesana? Gak usah! Apa untungnya kamu kesana? Emang kamu dibayar?" Dengan nada meremehkan ibunya menjawab Rinai. Alisnya mengkerut, menjadi satu di tengah-tengah. Tampak sekali, ibunya tidak suka Rinai kesana. Rinai menciut.

Rinai yang selalu nurut,
Rinai yang hanya bisa patuh,
Rinai yang tidak bisa menolak perintah orang tuanya,
Hanya bisa menunduk, sedih, hatinya terluka.
Perasaan Rinai kali ini sungguh terluka, ia tak kuasa menahan air matanya yang hendak menetes. Sesegera mungkin ia berlari ke kamarnya. Tak mau terlihat menangis di depan orang lain.

Rinai telungkup di atas kasur kerasnya, wajahnya terbenam di bantal yang kapuknya telah mati itu. Kali ini, ia merasakan sakit hati yang begitu dalam. Ia menangis sejadi-jadinya, tanpa suara. Bantalnya kini telah basah  karena air matanya.

Tak lama, Amira menelfon lagi.
"Rin, gimana? Diizinin?"
"Maaf Ra, aku nggak bisa." Rinai menjawab telepon Amira masih dengan sesenggukan.
"Rin, kamu nangis? Ada apa? Kok kamu nangis? Rin, rin. Ada apa Rin?"
Namanya sahabat, pasti ikut bingung kalau temannya sedang sedih, menangis dan terluka.
Suara Amira di seberang sana yang sedang panik tak dihiraukan oleh Rinai. Hatinya benar sedang hancur. Ia tak kuasa berkata lagi.
"Rin, aku ke rumahmu ya?"
Tak usah bertanya lagi, aku pasti khawatir kepadamu. Dalam batin Amira berkata.
Tapi sekali lagi, Rinai enggan merepotkan orang lain.
"Enggak usah Ra. Aku nggak papa kok, besok aja ya di sekolah. Maaf kututup teleponmu, Assalamualaikum"

Tuut, percakapan mereka di telepon berhenti. Rinai tak ingin membuat Amira lebih khawatir lagi.

"Yaa Allah, jika memang ini takdirku, ini ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Hamba ridha, sebab hamba yakin Engkau Maha Mengetahui seberapa kekuatan hamba untuk Kau uji."

***

Di rumah Amira ada Bu Ani dan Felisa. Bu Ani itu bisa disebut orang yang mewakafkan Mushala Jamiul Fawaid beberapa saat lalu, yang saat ini mushala itu akan diadakan santunan anak yatim.

Dan Felisa Aurellia Shidqi adalah seorang muallaf yang taat. Nama Shidqi disematkan oleh Bu Ani, setelah ia memeluk islam. Diharapkan, Felisa memiliki sifat yang Shidiq. Felisa kini sedang duduk di bangku kuliah jurusan Filsafat di UIN Sunan Ampel, Surabaya. Ia sempat banting stir, sebelumnya ia kuliah di salah satu Univeritas Negeri di Surabaya, jurusan Bahasa Jerman. Setelah masuk islam, karena keingintahuannya tentang islam yang tinggi, Felisa memutuskan pilihan yg membuat orang tuanya marah. Orang tua Felisa membebebaskan ia mau beragama apa, tapi soal pendidikan orang tuanya tidak menyetujui Felisa keluar jurusan. Namun, Felisa tetap bersikukuh. Apalah daya orang tuanya, Felisa anak tunggal. Akhirnya, mau tidak mau, orang tuanya setuju. Felisa tinggal di kos-kosan milik orang tua Amira. Rumah orangtuanya di Medan. Karena jauh, Felisa jarang pulang.

"Gimana Mir? Ada apa sama Rinai?"
Felisa nampak kaget dengan percakapan Amira dengan Rinai barusan lewat telepon.

"Kayaknya Rinai ada masalah deh Mbak Fel, Bu An. Dia tadi nangis, tapi nggak tau kenapa, dia langsung nutup telfonnya. Dia juga bilang gak bisa buat ngisi hari minggu" Amira, kebingungan.

"Orang tua Rinai apa keras sama Rinai?" Tanya Bu Ani.

"Iya gitu Bu An. Rinai di rumah dikerasin sama orang tuanya. Aku kasihan. Dia selalu nurut bantu orang tuanya. Sampai kelewat malam. Soalnya orang tuanya keras."

"Yaudah, nggakpapa masih ada besok. Besok kamu tanyain ya temenmu itu di sekolah, kalau bisa kamu bantu dia Mir."

"Iya Bu An, besok Mira coba tanya ke Rinai. Semoga dia mau cerita."

***
Pagi di SMA Pembangunan.
Mentari bersinar hangat, menghangatkan makhluk bumi. Langit sedang bahagia, senyumnya cerah.

"Pagi Rinai sahabatku yang cantik, pintar, rajin, dan maaaasih banyak lagi, hehehe." Suara Amira menyapa Rinai yang sedang duduk di bangkunya, membaca buku.

"Hahaha apa sih kamu Ra, pagi juga Amira bawel. Duduk sini" Pagi ini, Rinai tersenyum dan tertawa menjawab sapaan Amira. Giginya yang putih dan rapi ditampakkan pagi ini.

"Sahabatku, lagi baca buku apa?" Amira yang duduk di samping Rinai mencoba membuka percakapan diantara mereka.

"Ini, pengantar psikologi. Pinjam di perpustakaan kemarin." Jawab Rinai sambil menutup bukunya.

"Oiya ya, kan sahabatku ini cita-citanya jadi psikolog. Hehehe"

"Aamiin, doain ya Ra."

"Iya dong pasti Rin. Kok udah bacanya? Aku ganggu ya? Maaf ya."

"Ah enggak Ra. Emang aku udahin aja. Mau ngobrol2 aja sama kamu"

Amira merasa, Rinai membutuhkan dirinya untuk menceritakan masalahnya.
Saatnya Amira untuk meminta penjelasan mengapa kemarin Rinai menangis. Dalam hati Amira berdoa semoga tidak salah langkah dan mengusik hati Rinai.
"Emmm, Rin. Aku kan sahabatmu, aku bersedia membantumu saat kamu kesusahan. Jangan segan-segan buat cerita atau minta bantuan sama aku."

"Iya Ra, aku ngerti. Kamu adalah best friend ever yang pernah aku miliki. Makasih ya Ra."

"Rin, kamu kenapa kemarin nangis? Ceritain sama aku. Aku Inshaallah bantu kamu sebisaku Rin."

Rinai tersenyum sambil memegang tangan Amira.
"Amira, sahabatku. Makasih udah khawatir sama aku. Tapi aku nggak papa kok, aku baik-baik aja. Tenang. Ini buktinya, aku bisa ketawa. Heee" Rinai menyeringai.

Amira menghela nafas. Amira sangat tahu, Rinai selalu memendam masalahnya sendirian. Kadang, Amira menganggap Rinai adalah manusia paling kuat karena tak pernah mengeluh.
"Rin, nggak usah bohong. Aku tahu kamu nggak baik-baik aja. Ayo ceritain ke aku, aku berhak karena aku sahabatmu. Aku pasti bantu kamu."

Rinai mengeluskan telapak tangannya ke telapak tangan Amira. Lalu mendongak, melihat mata Amira. Rinai tahu, sahabatnya ini tulus. Dari dulu, dari awal mereka berkenalan Rinai tahu.
"Iya Ra, aku pasti percaya sama kamu. Nanti ya waktu istirahat aku cerita. Sekarang Pak Heru udah mau masuk kelas."

"Janji ya Rin, jangan mengelak lagi."

Rinai tersenyum manis, "Iya Amira."

***
Pelajaran Bahasa Indonesia, Pak Heru. Guru yang masih muda. Biasa dianggap guru paling tampan, dan suamiable banget.

Sesudah membuka salam dan basa-basi membuka pengajaran seperti biasa, Pak Heru berucap "Anak-anak, ini hasil ulangan harian hari Senin kemarin sudah saya koreksi. Ada 3 anak yg nilainya sempurna 100. Rinai Sahara, Dea Alfita Rahma, dan Egypta Cindyana. Selamat untuk kalian bertiga."

Prok prok prok
Teman sekelas Rinai bertepuk tangan.

Eh, tapi Derry si ketua kelas kok angkat tangan?

"Pak Pak Pak, bapak gak salah baca kan? Absen saya ada ditengah-tengahnya Dea dan Egy lho Pak. Siapa tau, bapak salah naruh nilai apa salah baca gitu. Kalau saya yang dapat seratus, hehehe."

"Eulehh Derry-Derry" seketika sekelas tepok jidat sama kelakuan ketua mereka yang agak sableng.








Halo, maaf baru bisa update ^_^
Habis selesai PAT yay!
Seperti biasa, ditunggu kritik sama sarannya. Follow juga, ntar saya follback wkwkw apasi.

+++ Like, Comen, Vote +++

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 27, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RinaiWhere stories live. Discover now