Rinai | Bagian Satu

87 7 2
                                    

03.00

Rinai tersadar dari lelapnya. Membuka mata pelan, dan membaca doa. Bibirnya berdesis sambil memejamkan matanya lagi.

Rinai berdiri dari tempat tidurnya. Kasurnya keras, selimutnya tipis dan ranjangnya berbunyi ketika ia bangkit.

Hari baru Rinai dimulai kembali. Saatnya ia bergegas dan bersiap. Rinai berjalan keluar kamar, melewati kamar Bapak Ibunya, masih tertidur pulas. Berhenti di depan pintu kamar orang tuanya, sambil menatap kedua wajah lelah itu lamat-lamat.

"Bapak, Ibu, semoga lelah kalian berbuah berkah." Rinai berucap pelan, takut membangunkan keduanya. Ia melanjutkan pergi hendak ke kamar mandi. Mandi, berwudhu, lalu shalat tahajjud. Mencurahkan segala isi hati dan keluh kesahnya kepada Sang Rabbi.

"Yaa Rabbi, aku hanya berdoa kepada Engkau, berkeluh kesah kepada-Mu. Hamba sangat meyakini, hanya Engkaulah tempat yang pantas untukku beradu." Rinai membuka suara setelah selesai salam. Ucapan untuk memulai doanya yang panjang, dan keluh kesahnya yang tak pernah usai. Dia bersyukur mempunyai Rabb-nya.

Allahu Akbar Allahu Akbar

Allahu Akbar Allahu Akbar

Ashadualla ilaa ha ilallaah

Ashadualla ilaa ha ilallaah

...

Suara adzan berkumandang dari mushala dekat rumah Rinai. Menandakan waktu fajar telah berlalu, dan disambut dengan mulianya waktu Shubuh. Rinai menutup doanya, sambil menyeka ujung matanya. Ia menangis lagi, lagi dan lagi. Ia tersenyum, berbaik sangka kepada Allah. Tak ingin menyalahkan siapapun.

Bergegas hendak ke mushala, menunaikan Shalat Shubuh berjamaah. Walau hanya 3 atau 4 orang makmumnya. Pak Ridwan, selaku ustadz dan guru mengaji menjadi muadzin dan imam. Bu Ridwan dan kedua anak laki-lakinya Luqman dan Malik yang masih kelas 1 SMP dan 3 SMP menjadi makmum. Ditambah Rinai, genap 4 orang menjadi makmum shalat shubuh itu. Hampir terjadi setiap hari.

Disaat para tetangganya sedang terlelap, sedang bermimpi, dan mungkin sudah memulai pekerjaannya, kelima Hamba Allah di masjid itu sedang khusyu melaksanakan shalat.

***

Seusai shalat, mereka terbiasa untuk tadaruz Al-Quran bersama.

Saat selesai membaca kitab suci tersebut, Rinai selalu teringat kedua orang tuanya. Dari lubuk hati yang paling dalam, selalu terbesit Kapan bisa shalat bareng bapak, ibuk, dan Dek Ahmad, kapan bisa tadaruz bareng mereka. Dan itu selalu memunculkan perasaan sedihnya. Bu Ridwan mengerti apa yang dirasakan Rinai. Selalu mencoba memberi pengertian kepada Rinai lewat peluknya yang hangat dan dekapnya yang menenangkan. Rinai hanya tersenyum kaku, membalas pelukan Bu Ridwan. Ia bersyukur ada keluarga Pak Ridwan bersamanya, sudah seperti keluarga kedua. Bahkan Rinai menganggap Pak Ridwan dan bu Ridwan seperti orang tua kandungnya sendiri. Itu karena perhatian kedua orang tersebut melebihi kedua orang tuanya di rumah.

***

Jam dinding berlogokan salah satu nama rokok yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul 06.15, saatnya Rinai berangkat sekolah. Setelah menuntaskan pekerjaannya di rumah mulai dari memasak, mencuci piring, bersih-bersih rumah dan membangunkan ketiga orang yang bernaung di bawah atap rumah tua tersebut.

"Assalamualaikum Pak, Rinai berangkat."

"Cepet pulang, kerjaanmu nanti numpuk" Jawab Ayahnya datar.

Rinai menyeringai tipis, berusaha tersenyum. Dia tidak keberatan dengan jawaban yang dibebankan ayahnya. Dia cuma ingin, ayahnya menjawab salamnya. Waalaikumsalam.

Rinai tahu, kewajibannya setelah pulang sekolah adalah mencuci mangkok dan peralatan lainnya yang selesai untuk ayahnya berjualan bakso dan mie ayam. Dan itu membutuhkan waktu lama. Biasanya, Rinai selesai mencuci piring sudah hampir maghrib. Dan itu melelahkan.

Ia tidak bisa pergi mengaji, bermain dengan temannya atau sekedar istirahat tidur siang. Duduk di kursi rotan ruang tamunya pun tidak bisa.

Sedangkan apa? Sejak pagi, ibunya selalu keluar rumah untuk menjual sprei, bedcover, selimut dan sarung bantal ke tetangga desa. Pada kenyataannya, ibunya selalu berhenti dan mampir di warung Mak Lin untuk makan, dan bergossip dengan ibu-ibu lainnya. Ibu Rinai tak pernah bersungguh-sungguh berjualan. Ia hanya menghindari jika harus disuruh suaminya untuk membantu berjualan bakso.

Ahmad Riwal Satriya, adiknya yang sedang kelas 9 SMP selalu mampir ke warnet setelah pulang sekolah. Bermain game online, dan parahnya pernah terjerumus ke perjudian online. Pamitnya, ia bilang kerja kelompok, belajar di rumah gurunya, les di rumah temannya, dan lain lain. Selalu saja ada alasan untuk membuat Ahmad tidak pulang siang.

Rinai, dengan ikhlas membantu Ayahnya. Walaupun badanya yang kurus ringkih terkadang susah diajak kuat. Kerap kali dia terjatuh, sempoyongan. Rinai tidak mengeluh. Ia sadar, membantu orang tuanya adalah wajib.

Rinai, gadis 16 tahun, tak pernah berhenti berharap dan berdoa kepada Allah. Agar keluarganya mendapat hidayah, dan mengakui adanya Allah.



ditunggu vote, coment, kritik dan sarannya readers ^_' 

yang ngefollow aku, nanti aku follback pastinya. Ditungguuu XD..

RinaiWhere stories live. Discover now