"Sudahlah, Hiro itu laki-laki brengsek," kata Hinowa muda sambil menyuap ramen ke mulutnya. "Apa yang kau harapkan dari orang seperti dia?"
"Dia baik sekali padaku, Hinowa. Tidak seperti orang lain," jawab Tsuki muda sambil mengaduk-aduk ramen-nya.
"Makan, jangan diaduk saja," kata Hinowa. "Hiro baik padamu agar dia bisa mendapat akses khusus di Yoshiwara. Kau mengerti kan, bagaimana pergaulan remaja zaman sekarang? Oh, menjijikan!"
"Aku tak pernah mendengar kau bicara sekasar ini, Hinowa," kata Tsuki sambil menyeruput kuah ramen.
"Aku bicara apa adanya. Dan aku benci dengan anak-anak muda yang ingin merasakan kemegahan Yoshiwara. Mereka hanya mengotori rumah kita," ujar Hinowa.
Tsuki tersenyum tipis. "Mungkin memang aku tidak boleh pergi dari Yoshiwara."
Hinowa menatap Tsuki. "Apa maksudmu?"
Tsuki mendesah. "Kelihatannya aku memang ditakdirkan untuk mengabdi pada Yoshiwara."
***
"Kelihatannya aku memang ditakdirkan untuk mengabdi pada Yoshiwara."
Gintoki muda menenggak sake-nya dan melanjutkan makan malamnya.
"Oi, Gin-chan," Sakamoto muda menengok ke arah Gintoki. "Mau cabai?"
"Kehidupanku sudah cukup pedas, Tatsuma," jawab Gintoki.
"Banyak gaya kau," kata Sakamoto sambil melahap ramen-nya.
Gintoki kembali fokus pada suara dua orang perempuan yang tengah berbincang di sampingnya.
"Kau bicara begitu seakan-akan aku juga tidak akan pernah bisa pergi dari Yoshiwara," kata perempuan berambut hitam.
"Bukan begitu maksudku," kata perempuan berambut pirang. "Hal itu berlaku untukku, bukan untukmu."
Perempuan berambut pirang menatap mangkuk ramen-nya. "Lagipula, Jiraia-sama tidak akan pernah memperbolehkanku untuk pergi dari Yoshiwara..."
Gintoki selesai makan dengan cepat. Dia mengambil botol sake-nya dan menenggaknya.
"Hinowa," perempuan berambut pirang menatap temannya. "Aku terlalu berbahaya untuk keluar dari Kabukichou."
"Jangan anggap ajaran Jiraia menjadikanmu seorang kriminal, Tsuki," kata perempuan berambut hitam.
Perempuan bernama Tsuki terlihat tersenyum tipis. "Aku hidup dengan kunai-kunai-ku, Hinowa. Jiraia melatihku agar aku bisa melindungi banyak orang, dan aku menghargainya. Tapi, apa yang aku lakukan adalah harga mati. Untuk Kabukichou, dan orang-orang di dalamnya."
Tsuki menghela napas dalam-dalam. "Hiro benar. Aku adalah perempuan yang menakutkan."
Tangan Gintoki terangkat. Dia nyaris menyentuh bahu perempuan bernama Tsuki. Namun, tiga pria bertubuh besar tiba-tiba ada di depan kedua perempuan itu.
"Tsukuyo," pria yang di tengah mendekati Tsuki. "Jiraia mencarimu."
"Siapa kalian?" tanya Tsuki. "Aku tidak pernah tahu Jiraia mengenal kalian."
"Kami bekerja dengannya di luar Yoshiwara. Ini permintaan Jiraia. Ikut kami ke Yoshiwara sekarang," kata pria di sebelah kiri.
"Tidak mau," kata Tsuki dengan tegas. "Aku bisa pulang sendiri."
"Kau mau kami mengobrak-abrik tempat ini?" tanya pria di sebelah kanan.
Tsuki terdiam. Dia menghela napas panjang setelah terdiam cukup lama. "Oke."
Tsuki berdiri dan menatap Hinowa. "Aku akan mengganti uangmu di Yoshiwara. Sampai bertemu."
Tsuki pergi bersama ketiga pria itu. Perempuan bernama Hinowa terlihat cemas. Gintoki tak bergerak dan menenggak sake-nya. Tangannya sudah kembali berada di atas meja.
Gintoki mendadak berdiri, membuat Katsura, Sakamoto, dan Takasugi yang juga sedang makan bersamanya menoleh.
"Mau kemana kau?" tanya Takasugi.
"Aku lupa membayar jeruk pada Iwasaki-sama," Gintoki meninggalkan uang receh di atas meja. "Aku akan menemui kalian di dojo."
KAMU SEDANG MEMBACA
In Dreams
Fanfiction"Di sana kau berpijak, dan di sanalah aku melihatmu resah menunggu kehadiranku." Ini pertemuan pertama Gintoki dengan Tsukuyo, satu-satunya wanita yang hidup di dalam jiwanya.