"Gue minta maaf karena lu harus diribetin kayak gini," ucap Nick dengan ekspresi sungguh-sungguh. Dia sedang berada di gazebo rumahnya bersama Tiffany.
Hari ini hari Minggu. Seperti yang direncanakan oleh ibunya, pagi-pagi sekali dia harus bangun untuk segera menjemput Tiffany.
Mereka bertiga beribadah bersama, menikmati sarapan setelahnya, dan mengantar ibunya pulang ke rumah yang ada di Bandung.
Sesuai dugaan, ibunya memiliki niat terselubung untuk mengenalkan Tiffany pada ayahnya. Sudah pasti orangtuanya melakukan pembicaraan di belakang Nick dengan memberi kabar yang tidak jelas. Meski tidak bisa dipungkiri, Tiffany adalah cewek pertama yang dibawa Nick.
"Nggak apa-apa. Mereka baik dan gue sama sekali nggak merasa diribetin. Kan yang nyetir lu, bukan gue," balas Tiffany pelan.
Nick mengangguk. Tiffany termasuk pintar membaca situasi yang ada di hadapannya, ketika duduk bersama di meja makan. Berbagai pertanyaan menjebak dilancarkan sampai Nick merasa muak, tapi untungnya, Tiffany membalas sewajarnya dengan lugas.
"Kalo Bokap Nyokap gue ada ngomong yang nggak-nggak, jangan didengerin. Mereka emang suka kepo!" celetuk Nick lagi.
Tiffany mengangguk saja.
Ada yang berubah, pikir Nick. Jika biasanya Tiffany akan bercerita dan terlihat riang, hari ini berbeda. Dia lebih sering terdiam. Wajahnya murung dan terlihat sedang memikirkan sesuatu. Dia akan menjawab ketika ditanya, hanya tersenyum jika enggan menanggapi.
"Lu baik-baik aja?" tanya Nick dengan alis berkerut.
"Iya," jawab Tiffany singkat.
Nick memperhatikan Tiffany dengan seksama. Dilihat dari dekat, cewek itu lebih cantik dua kali lipat. Semakin hari semakin cantik saja, terlebih rambut panjangnya tergerai indah. Memakai terusan sederhana berwarna pink, membuatnya terlihat lebih bersinar.
Tiffany mengerutkan alis menatap Nick. "Kenapa? Ada yang aneh sama muka gue?"
Nick mengangguk. "Muka lu makin banyak kerutan karena kebanyakan mikir."
Ucapan spontan yang keluar dari mulut Nick, membuat Tiffany tersentak sambil menangkup kedua pipi.
"Masa? Lu bohong. Gue udah cari, tapi nggak ada."
Nick menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi panik Tiffany. Sebegitu besarkah masalah soal kerutan di wajah? Ckckck.
"Gue ngeliat ada yang nggak beres sama lu. Nggak biasanya lu diem kayak gini. Lu kayak lagi sedih dan kurang tidur," ujar Nick jujur.
Tiffany terdiam dan menghela napas pelan. "Gue lagi capek aja."
Nick semakin yakin jika ada sesuatu yang terjadi pada Tiffany. Instingnya mengatakan demikian.
"Btw, rumah lu pake jasa bodyguard yah?" tanya Nick kemudian.
Tiffany spontan menoleh dan menatapnya kaget. "Nggak. Emangnya kenapa?"
"Ada Om-Om berjas yang berdiri di depan rumah lu itu siapa? Tampilannya aja kayak bodyguard gitu. Nggak mungkin kan kalau itu Om atau Bokap lu?"
Ekspresi Tiffany menegang. "Lu nggak diapa-apain sama mereka, kan?"
"Kenapa gue harus diapa-apain sama dia?"
Tiffany kembali terdiam. Tatapannya menerawang seperti sedang memikirkan sesuatu. Shit! Nick tidak suka melihat Tiffany yang seperti itu.
"Lu bisa cerita sama gue kalau ada yang ingin lu sampaikan. Nggak usah ragu," ujar Nick berinisiatif.
Tiffany meliriknya ragu. "Gue nggak tahu harus cerita apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Flashlight (SUDAH TERBIT)
Teen FictionCerita ini sudah rampung sejak : 17 May 2018 - 06 Juni 2018 Versi terbaru : 13 May - 10 Okt 2019 ***** "Nick itu judes tapi dia baik. Meskipun kalau ngomong selalu ketus, tapi dia jujur. Dan dia selalu ada ,saat gue membutuhkan pertolongan," pikir T...