1 || dusta

38 1 0
                                    

Aku sedang duduk di balkon kamarku sambil meminum teh hangat di sore hari, menikmati anginnya yang membuatku memejamkan mata sejenak.

Melupakan masalah yang baru saja menghampiri,
Seperti badai tak terduga yang membawa mati.

Ah, sepertinya aku terlalu berlebihan, kupikir itu hanya masalah sepele, yang kan segera kutemukan ujung jalannya lantas keluar dengan rasa bahagia.

Masalah itu hanya paksaan ayah dan bunda saja yang mendesak ku untuk segera menikah, karena usiaku yang kemarin telah menginjak 30,
Bukannya aku tak mau, tapi aku masih ingin bersama dengan ayah dan bunda, ya anggap saja aku anak manja tapi begitulah kenyataanya,

Anak bungsu dari dua bersaudara, paling malas, paling manja, paling disayang, paling tidak mandiri dan bla bla bla seterusnya.

Orang tuaku benar-benar memaksa  kalau tahun ini tidak segera menikah mereka akan menikahkanku dengan sembarang orang, yang asing, yang tidak bisa membuatku bahagia, lalu memisahkanku dari mereka.
Memikirkan itu membuatku merinding setengah mati, ingin menangis tak henti-henti, ingin mengeluh sepanjang hari.

Tapi, hanya ingin, nyatanya tak terjadi, dan yang kulakukan sekarang hanya menatap kosong ke arah ranting-ranting pohon yang menari di ayun angin, sampai gelap mulai menghampiri, dan Mega merah pun tampak semakin samar. Aku bingung, apakah orang tuaku memang Se-tega itu? Memangnya mereka berani memaksaku? Yang notabennya adalah anak bungsu, pastilah mereka tidak tega.

Angin semakin kencang, dan membuatku merinding, hingga kuputuskan untuk masuk ke dalam dengan meninggalkan setengah cangkir teh yang kian dingin.
Segera ku kunci pintu balkon dan ku geser gordennya, berjaga-jaga dari maling yang mungkin hendak beraksi pada malam hari.

Aku segera beranjak ke kamar mandi mencuci wajah dan bersiap turun ke lantai bawah untuk makan malam.

"Nura.."
Baru aku duduk di kursi, bunda memanggil namaku, menatapku dalam.

Aku diam sejenak, tahu bunda akan membahas yang itu-itu lagi.
"Bun.. lain kali aja ya, kita makan dulu"
Aku meminta pengertian dan kudengar bunda menghela napas panjang.

"Hmm.. ayah mana bun? Kok gak ada?"

"Ayah masih di kamar mandi baru pulang dari kantor"
Aku pun hanya mengangguk.

"Kamu makan dulu aja, ayah biasanya lama banget"

"Enggak deh, gak sopan, palingan bentar lagi ayah turun"

"Ya udah terserah kamu.
Eh, ngomong-ngomong bang dani mau kesini besok"

"Tumben bun.. tapi bawa kamila gak?"
Kamila anak pertama bang dani yang masih berusia 1 thn.

"Ya enggak.. dia kesini sendiri, enggak sama fani dan kamila"

"Kak fani juga enggak ikut? Lah terus kesini ngapain dong?"

"Ya.. cuma kangen aja katanya"
Aku hanya mengangguk menanggapi, tidak biasanya bang dani berkunjung tanpa membawa anak dan istrinya.

Tak lama ayah sudah duduk di sebelah bunda, dan kami pun memulai makan malam kami.

>>>>

Just a little bit of ur heart.. just a little bit of your heart.. just a little bit of your heart is all i want

Aku segera meraih handphone diatas nakas dan segera mematikan alarm : 7.30

Aku langsung melebarkan mata dan segera beranjak ke kamar mandi.

Aku terlambat.. otakku hanya bisa mencerna kata itu saja, tak ada yang lainnya,
Hingga tak sengaja ku senggol botol parfum terbuat dari kaca, yang akhirnya jatuh berserakan kemana-mana, dan ternyata ada pecahan yang menusuk jari jempol kiriku.

Sepucuk Rasa AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang