5 || feeling

0 0 0
                                    

"Ini juga demi kebaikan kamu dan Farish, Ra..
Lagian kamu kenapa bisa sampai ada diatas Farish?"
Jawab bunda sambil ikut berbisik padaku.

"Kita bicarakan nanti bun.."
Akhirnya disinilah aku, pasrah, dan menyerah.

Tanggal akad nikah ditetapkan, pada hari jumat, 3 hari lagi.
Aku pasrah, telingaku berdengung kuat, tapi masih dapat mendengar canda tawa, dan gurauan orang-orang disekitar ku, mataku mulai terasa buram.

Aku menggelengkan kepalaku, dan berdiri dari tempat dudukku.
"Bunda, Nura ke kamar dulu, kepala Nura pening bun"
Aku berjalan cepat ke arah kamarku, mencari obat sakit kepala dinakas, dan lekas meminumnya.

Air mataku sudah tak terbendung lagi, rasaku berkecamuk dalam hati.

Aku menangis sejadi-jadinya tanpa suara, karena tahu banyak orang diluar sana, meski kamarku dibuat kedap suara, tapi aku tetap menahannya, karena takut lepas kendali pada akhirnya.

Aku terus menghapus air mataku, enggan menangis, tapi air mataku tak kunjung habis.

Semuanya terasa sulit.. bagaimana dengan hari esok?
Apakah aku akan baik?
Apakah aku bisa menerima Farish?

《《《《《

hari sudah malam, semua keluarga besar Farish sudah pulang..
Aku sedang diruang keluarga, bersama bang dani, kak Fani dan kamila yang tengah dipangkuan ku.

Aku menghela napas panjang sebelum memulai pembicaraan.

"Bang.. aku harus gimana?"
Tanyaku pada bang dani yang kini mengambil alih kamila.

"Udah lah Ra, enggak papa.. Farish tuh baik loh" timpal kak Fani.

"Iya Ra.." jawab bang dani.

"Alasan kamu sulit menerima Farish apa sih?" Tanya kak Fani.
Yang ku jawab dengan gelengan kepala.

"Kamu kan suka banget anak kecil, seharusnya Alina bukan jadi masalah buat hubungan kamu dan Farish"
Ucap bang dani tegas.

"Kamu enggak suka sama Farish? Kurang ganteng? Iya?" Tanya kak Fani lagi.

"Aduh.. Nura jadi pusing nih, serasa diinterogasi deh" aku pun berdiri, pergi meninggalkan keluarga kecil itu sambil menghentakkan kakiku.

Satu-satunya cara untuk menunda pernikahan mungkin adalah membujuk bunda.
Aku pun pergi ke dapur menyusul bunda yang tengah membuatkan kopi untuk ayah.
Kupeluk ia dari belakang, dan kutaruh daguku dipundaknya.

"Bunda.. enggak bisa ditunda ya?" Tanyaku sambil berbisik.

"Ditunda apanya?" Jawab bunda dengan nada yang lumayan tegas.
Bunda melepaskan pelukanku dan kini menghadapku.

"Bunda.. please.."

"Enggak bisa Nura.. bunda kan udah bilang berkali-kali sama kamu"

"Bunda.. Nura itu enggak sengaja jatoh diatas Farish! Bukannya sengaja bun.. kaki Nura kepleset, Nura enggak mungkin berbuat yang enggak-enggak"
Ini adalah kata yang kesekian kalinya kuucapkan pada bunda.

"Jadi kamu nyalahin bunda? Udah jelas-jelas kalian berdua itu salah! Belum nikah aja udah mau berbuat yang tidak-tidak"

"Nura tuh jatoh bunda.. jatoh!"

"Bunda liat dengan mata kepala bunda sendiri Nura!" Bunda mulai meninggikan suaranya.

"Masih untung yang gerebek kalian berdua itu bunda! Kalo di gerebek warga kalian pasti nikah hari ini juga, kita sekeluarga juga pasti malu.. udah! Enggak boleh ada bantahan lagi, akad nikah harus dilaksanakan hari jumat!"
Aku pun hanya mampu menelan ludah dengan susah payah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sepucuk Rasa AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang