3 || how about us?

10 1 0
                                    

Nura's point of views

Bel rumah terdengar, Nanda salah satu asisten rumah tangga termuda membukakan pintu dan mempersilahkan tamu kami duduk di ruang tamu.

Aku tersenyum saja seadanya, ikut berjabat tangan dengan sahabat lama ayahku ini dan keluarganya, kalau tidak salah, namanya om Daniel dan tante Zahra.

Aku sungguh gugup, perutku juga tak kunjung membaik meski masih bisa kutahan sakitnya, tapi semuanya bisa disembunyikan oleh senyuman lebarku.
Sekarang yang dapat kulihat hanya om Daniel, tante Zahra, dan tiga orang perempuan yang bersama mereka (yang tentu belum kukenal siapa), dan satu lagi orang laki-laki.

Tatapanku terpaku pada laki-laki yang duduk disebrangku, apakah itu yang namanya Farish? Tapi rasanya tak mungkin, dia nampak masih seperti anak SMA, tampak masih sangat muda, dengan senyuman lebar ia menatapku, jujur saja, ia sangat tampan, berani bertaruh! Dia pasti salah satu murid tertampan di sekolahnya.

"Ya ampun, jadi ini nura ya? Cantik banget ya sekarang, pangling banget loh" aku tidak tahu sejak kapan, tante zahra sudah duduk disebelahku, mengusap punggungku.

"Maaf ya jeng, Farish nya belum dateng, dia masih ada urusan katanya dikantor"
Tante Zahra tersenyum ke arahku, tangannya masih bertengger dipunggungku, membuatku tidak nyaman, bagiku suasananya makin canggung, seakan disengat listrik, tubuhku kaku tak bisa bergerak.

Tante Zahra mengenalkanku pada 3 perempuan yang berada diseberangku.

mereka semua adik Farish, yang paling tua namanya Shabrina, sudah menikah, yang kedua Mahera, dia memiliki rambut blonde dan senyum khasnya saat menyapaku, sangat cantik, wajahnya mewarisi om Daniel, sedikit ke-bulean,

yang ketiga Shakira paling cantik diantara yang lain, wajahnya sedikit ke-arab-an seperti tante Zahra dan Shabrina ini ternyata saudara kembar cowok yang duduk disebelahnya, namanya Haris.

Keempat adik Farish, semuanya sama sekali tidak ada yang memiliki wajah biasa saja, semuanya memiliki wajah yang sangat menawan, mereka ramah, dan sangat murah senyum, menunjukkan betapa mempesonanya masing-masing dari mereka.

Dengan ini, sudah menjadi bukti, bahwa mungkin Farish adalah orang yang sama baiknya seperti mereka berempat, semoga ia setampan Haris, ah tidak, Tampan itu tidak penting, yang penting baik, kalau baik plus tampan, ya itu bonus.

Tidak lama kami berbincang, sekedar basa-basi, dan mengenalkan diri, terdengar bel pintu rumah, kali ini aku yang berdiri, dan membukakan pintu.

Pintu kubuka, menampakkan pria tampan dengan segala pesonanya, tidak perlu didefinisikan dengan sebuah kata, ia memang tampan, ia tersenyum padaku.
"Ayo masuk.,"
Aku mempersilahkannya masuk dan kami segera ke ruang makan, menyusul yang lain yang sudah lebih dahulu.

Kami–aku–Farish, duduk bersebrangan, keluarga kami saling berbincang, bersenda gurau, tertawa ringan, aku hanya diam tak mampu berkata-kata, apalagi mengungkapkan isi hatiku, antara senang, sedih, bimbang, gelisah, berkecamuk semuanya menjadi satu.

"Oh, iya Farish dan Nura belum kenalan ya?" Tante Zahra kembali memulai pembicaraan.
Farish hanya diam, lantas kucoba untuk berbicara terlebih dahulu.

"Hmm, namaku Vina Nura Shabira, dipanggil Nura aja" aku tersenyum, sambil menatapnya, hanya tersenyum sopan untuk menghormati lawan bicara, bukan senyum yang berlebihan, apalagi senyuman istimewa

"Saya Farih Mubarak Alaish–Farish"
Meski tanpa senyum, ia mengangguk pelan sopan, lantas melanjutkan makannya.

"Nah, gitu dong.. masa dari tadi diem-dieman mulu?"
Om Daniel menyahut, aku hanya bisa tersenyum sopan menanggapinya.

Sepucuk Rasa AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang