4 || how about us? - 2

8 0 0
                                    

Aku masih terdiam mendengar jawabannya, memang betul juga.. ia lebih sulit dibanding aku, ia menghadapi perkara yang lebih berat lagi, apalagi ia single parent bagi Alina, pasti ini sangat rumit untuknya.

"Jadi bagaimana? Saya harap kamu tidak ragu lagi" suaranya yang merdu kembali membuatku menoleh padanya sebentar, lalu menatap meja didepanku lagi.

"Saya.. bingung, kita masih asing, rasanya semua kejadian kemarin hanyalah mimpi, ini terlalu cepat" aku sama sekali tidak mengingkari ketampanannya, kebaikannya, kesopanannya, dan pesonanya.

Tapi, jujur saja, entah kenapa hatiku masih kurang bisa menyambutnya dengan benar, sayang sekali, padahal menurutku, dia cukup baik untukku.

"Kenapa? Karena saya duda? Karena saya sudah mempunyai anak? Maka dari itu kamu tidak mau menerima saya"

Aku hanya menggelengkan kepalaku, hatiku masih tidak memahami tentang perasaanku,
"Saya minta maaf.."
Akhirnya hanya itulah yang mampu kuucapkan.

"Apa bahkan, kamu tidak mau menerima saya barang sedikit pun?"
Tanya Farish lagi membuatku bingung harus menjawab bagaimana.

"Maaf, saya masih ragu, tapi saya akan berusaha untuk terbiasa dengan kamu dan Alina"

"Tidak perlu minta maaf, seharusnya saya yang minta maaf, karena telah mengganggu ketenanganmu, dan saya sangat-sangat berterimakasih jika kamu mau menerima saya"
Ia tersenyum padaku, senyum tertulus yang pernah aku lihat.

Senyumnya membuat hatiku damai, ia menebarkan kehangatan lewat senyumnya, senyum yang sangat manis,
Senyum yang sopan,
Namun sederhana,
Bukan senyum palsu,
Apalagi menggoda,
Sebuah senyum yang murni dari hatinya,
Bukanlah sandiwara.

"Kita bicarakan lagi di lain waktu"
Balasku, tak mampu berkata-kata, pesonanya ternyata berdampak besar bagiku, membungkam seluruh keluhku dari kemarin

Ia mengangguk setuju.

"Mau kembali ke ranjangmu? Ayo kubantu"
Farish mengulurkan tangannya.

"Ah tidak perlu, saya akan menunggu, sampai Alina bangun, tidak perlu merasa tidak enak."

Lama kami menunggu dalam keheningan, tanpa ada percakapan, membuat suasana terasa semakin canggung.
Bingung harus apa, akhirnya aku mengambil handphoneku, dan memainkannya.

Ditengah asyik bermain sosial media, handphoneku bergetar, ada panggilan masuk dari bunda.

"Iya bun.."

"Kamu sekarang sama Farish kan?"

"Iya bun.."

"Ya udah sekarang kamu kasih handphonen nya ke Farish ya.. bunda mau ngomong"

Awalnya aku ragu, tapi langsung memberikan handphoneku ke Farish.

"Bunda mau bicara"
Ia mengangguk.
Setelah meletakkan handphone disamping telinganya,
2 detik berikutnya ia keluar dari ruangan ini sambil membawa handphoneku.

Membuatku menduga-duga apa yang bunda bicarakan dengan Farish, sepenting apa? Sampai aku pun tidak boleh mendengar percakapan mereka.

Sekitar 3 menit kemudian, Farish kembali, ia duduk disampingku, mengembalikan handphone padaku.

"Terimakasih, hmm.. maaf lama, tante Mira jadi ikut om Ahmad ke turki, jadi saya disuruh jagain kamu sampai nanti malam"
Farish menatapku dengan mata teduhnya, aku bisa melihat gurat lelah diwajahnya.

Tentu saja, dia mengurus Alina sendirian tentu tidak mudah, belum lagi mengurus pekerjaannya.

"Tidak perlu.. kamu pasti lelah" jawabku sepontan.

Sepucuk Rasa AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang