First Case

19 4 5
                                    

Agustus 2016, Tanggal 21, Hari Senin.

Aku mengajakmu berbicara untuk pertama kalinya. Karena menurutku ada yang salah dengan suasana di kelas ini.

"Hei, perkenalkan namaku Reza. Namamu?"

Kamu menjawabnya dengan namamu sendiri, aku menyapamu kembali dengan ramah. Namun, percakapan kita terpaksa ditahan sementara karena guru sudah tiba dan berjalan di depan kelas.

"Selamat pagi anak-anak!" seru Ibu Guru di depan.

Kita membalas serentak bersama teman-teman, "Selamat pagi juga Ibu Guru!"

"Baik anak-anak, karena ini pertemuan pertama kali kita. Ayo kita berkenalan lebih dahulu?"

Aku menyenggol lenganmu karena merasa ada sesuatu yang aneh. "Ssst... Kamu tahu gak, Ibu itu daritadi hanya memperhatikan siswa itu," tunjukku ke arah sudut kelas depan kanan.

Kamu berbicara bahwa mereka sepertinya tidak kenapa-kenapa, dan sama sekali biasa-biasa saja.

"Aku masih tidak paham dengan reaksimu yang hanya menatapku hambar ditambah sedikit miringan pada posisi kepalamu itu."

Kamu mengembuskan napas dan menatapku seolah aku ini Tuhan yang tahu segalanya. Dan kamu mencoba untuk meyakinkanku bahwa mereka itu hanya murid dan guru biasa yang sama sekali tidak memiliki hubungan.

"Normal? Apa yang kamu maksud?"

Aku mulai menggaruk daguku dengan jari telunjukku, mencoba untuk memahamimu. Sepertinya, kamu itu terlihat unik di mataku.

"Coba kamu perhatikan baik-baik, yang dilihatnya pun malu-malu."

Kamu tidak terlalu peduli dengan kata-kataku dan akhirnya meninggalkanku sendiri seolah berbicara dengan dinding. Aku pun sedikit kesal dan menyerah untuk berbicara denganmu, sepertinya pemikiran kita tidak akan bisa sama.

Semua itu jelas, karena kita sendiri berbeda. Manusia memang berbeda, dan hanya pemikiran yang bisa menyatukan masing-masing individu.

Pelajaran kembali berlangsung setelah masing-masing dari kami mengenalkan diri, termasuk dirimu. Dan aku baru tahu kalau hobimu itu terkesan biasa-biasa saja. Aku akan mencobamu masuk ke dalam hobiku yang unik ini, yakni menjadi seorang detektif.

Sejak kecil, aku selalu bermimpi untuk menjadi seseorang seperti Sherlock. Alasan? Karena dia keren tentu saja, siapa yang tidak mau terlihat seperti orang pintar yang dapat membantu ratusan orang lainnya?

Aku akhirnya kembali fokus pada pelajaran dan sama sekali tidak memperhatikanmu. Lebih fokusnya pada setiap gerakan guru dan murid bernama Alvin yang mencurigakan itu.

***

Bel istirahat berbunyi, seluruh murid tampak bepergian dan menghilang satu demi satu. Menyisakan kita berdua, aku dan kamu.

Kamu menawariku untuk pergi ke kantin bersama, dan jujur saja meskipun aku sedang kesal, entah kenapa kamu bisa membuat perasaan itu menghilang seketika. Kamu itu ajaib, seperti seorang Harry Potter yang mengeluarkan sihirnya untuk menghipnotisku.

"Huft, baiklah akan kutemani."

Kita berdua berjalan melewati lorong sekolah yang cukup ramai dengan murid-murid lainnya. Di tengah perjalanan, aku memaksamu untuk berhenti menggunakan tanganku yang kutaruh di atas punggungmu itu.

"Hei, tunggu sebentar. Sepertinya aku mendengar sesuatu."

Aku menarik tanganmu dengan kuat hingga membuatmu mengeluarkan jeritan kecil. Maaf ya, tapi mau bagaimana lagi, momen seperti ini adalah momen langka. Kita berdua bersembunyi, dan aku mulai mengintip sedikit.

DARKSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang