Second Case

8 2 0
                                    

"Huft... akhirnya selesai juga."

Aku menghela napas setelah lama sekali tidak menghirup udara segar. Aku mengintip ke arahmu untuk sesaat dan karena di kelas cuman sisa kita berdua, aku menghampirimu.

"Hei, sedang lihat apa kawan?"

Kamu yang awalnya menikmati udara luar itu tiba-tiba kaget sejenak, kamu melihat sosokku layaknya hantu gentayangan yang siap kapan saja menerormu, nyatanya aku ini tetap seorang manusia.

"Ahahaha! Kok bisa kaget gitu dah, dasar payah!"

Kamu mendadak emosi karena mendengar ejekanku, tapi karena kamu tidak berada dalam mood yang sedang bagus, kamu memilih untuk diam dan kembali melihat ke arah jendela.

Aku yang sedikit penasaran dengan tingkah lakumu pun ikut melihat melalui jendela tepat di sebelahmu.

"Oh, jadi kamu daritadi itu ngeliatin mereka berdua toh...?"

Begitu kamu mendengar pertanyaanku, kamu mengangguk kepalamu dan berbicara padaku bahwa kemungkinan besar kamulah pemenangnya. Aku yang mendengarnya hanya bisa tersenyum halus.

"Kamu yakin akan menang hm...? Percaya dirimu tinggi juga, tapi..."

Aku menepuk bahumu dan membuat kita berdua saling tatap menatap. Aku memandangmu dengan raut wajah yang licik, seakan-akan aku sudah memiliki sebuah bukti.

"Siang tadi, waktu pelajaran biologi, apa kamu tau si Alvin pergi kemana?"

Kamu langsung menjawabnya dengan lancar bahwa dia pergi ke UKS untuk berobat. Karena, menurutmu Alvin sejak tadi pagi setelah pergi dari kantin mulai tidak enak badan.

Nyatanya, kalau berpikir secara logika. Kita semua tahu bahwa penyakit tidak bisa datang mendadak, pasti memerlukan waktu. Kesimpulan,

"Gak mungkinlah dia bisa demam mendadak. Terkecuali kalau kenak demam berdarah, tapi kalau memang demam berdarah seharusnya waktu gigitannya adalah siang hari. Dan seharusnya terdapat bercak merah di sekitar tangan atau kakinya, nyatanya bersih kok."

Kamu mengelak dan membela sosok Alvin dari tuduhan yang aku sampaikan. Aku tahu alasanmu, karena hal seperti hubungan antar guru dan murid itu tentu saja tidak ada. Lagipula, kamu berpikir bahwa mengapa seorang siswa SMA ganteng sepertinya lebih memilih Ibu guru yang kemungkinan besar sudah memiliki suami.

"Oke, santai... pertama-tama. Berdasarkan hal yang sudah aku kumpulkan," aku mengeluarkan ponselku dari saku celana dan menunjukkannya padamu sebuah foto. "Dia single, dan belum menikah. Berusia 24 tahun."

Kamu terkejut dan bertanya bagaimana bisa aku mendapatkan foto tentang identitas guru itu. Aku hanya bisa mengangkat kepalaku dengan sombong, "Ya tentu saja. Aku kan calon detektif. Misteri apapun itu, akan aku pecahkan."

Kamu menghela napas, tidak peduli dengan sikap sombongnya. Dan tetap menyela setiap kata yang kusampaikan, sampai pada sebuah kesimpulan. Bukti-bukti yang sudah kutunjukkan padamu itu tetap tidak bisa kamu percayai.

Sesusah inikah untuk menerima sisi gelap seseorang bagimu?

"Ya sudahlah, kalau begitu--" aku langsung menarik tanganmu dan kita berdua bersembunyi di balik lemari.

Kamu yang tiba-tiba tertarik itu mendadak kesal dan berusaha untuk berbicara, namun di saat kamu ingin berbicara dengan suara yang keras, aku sudah mendahulukan jari telunjukku untuk menyuruhmu diam.

"Ssstt... ada orang."

Kamu mengangguk setuju untuk sementara, meskipun kamu masih menatapku dengan perasaan benci. Kita berdua lalu mengintip sedikit dari belakang lemari ini, dan melihat pemandagan yang sama sekali tidak indah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DARKSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang