Sadar

1K 184 123
                                    

Berangkat lebih pagi dari biasanya dengan keadaan perut kosong adalah hal yang jarang sekali gue lakukan.
Kalian tahu lah, kalau gue ini orangnya kebluk, dan gembul juga.
Malas? Jangan ditanya.
Posisi pertama diduduki oleh gue sebagai orang termalas satu kontrakan.

Kedua Arjae.

Hah. Gue jadi ingat dia lagi.
Membicarakan tentang Arjae, ya dialah yang membuat sisi rajin dalam diri gue sedikit hidup kembali.
Untuk sekarang ini, gue hanya ingin menghindari dia dulu karena kejadian kemarin.
Maka dari itu, sejak hari Kamis kemarin, gue tiba di kampus lebih awal dari mereka.

Sebenarnya, gue bukan ingin memusuhi Arjae. Gue hanya butuh waktu untuk sendiri.
Enggak enak juga sih, hubungan gue dengan Arjae jadi agak renggang.
Tapi mau bagaimana lagi.
Untuk beberapa hari ke depan, biarkan gue menata hati terlebih dahulu. Supaya gue bisa lebih memantapkan diri untuk menetapkan perasaan yang gue miliki ini, akan dilabuhkan pada siapa nantinya.

"Brian?" ada suara cewek yang memanggil gue dengan ragu, ia memegang bahu gue dengan sedikit tekanan agar gue mau menoleh ke arahnya.

"Ih kok nyubuh lagi sih Bri berangkatnya?" tanyanya lagi saat dia tahu bahwa gue datangnya kepagian.

Gue berbalik, menghadap Syifa yang sekarang ini sedang menantikan jawaban dari gue. "Kamu tuh ya, aku enggak telat harusnya bersyukur dong. Ini kok malah heran." Gue mencubit pipinya yang berwarna sedikit kemerahan karena blush on yang ia pakai.

Syifa melepaskan cubitan gue. "Iya aku bersyukur. Tapi aneh aja, dari kemarin kamu berangkat nggak bareng temen-temen deket kamu, dan... Udah dua hari aku liat, kamu kayak jaga jarak gitu. Apa ada masalah sama mereka?"

Gadis ini menatap gue dengan lekat. Bisa gue lihat sorot matanya yang tulus menyiratkan kepedulian untuk gue. By the way, kalau tatap-tatapan sama Syifa seperti sekarang ini, gue merasa enggak percaya diri. Gue takut kalau ada cileuh-kotoran mata-yang menempel di sudut mata gue gimana? Bisa-bisa kegantengan seorang Brian turun 100% di mata Syifa.

Tapi inilah hal yang gue suka dari Syifa, dia selalu ada saat gue merasakan suka ataupun duka.
Emang dasarnya gue yang bodoh, dengan mudahnya terpesona pada perempuan lain yang gue sendiri belum mengenalnya lebih dekat.
Dari sini harusnya gue sadar, siapa perempuan yang harus gue pilih.
Dan gue mesti tahu diri, bahwa Arjae mempunyai hak untuk menyukai Fani, tanpa harus memikirkan perasaan gue.

Gue menggeleng, tersenyum ke arahnya. "Enggak kok Syif. Mungkin guenya aja yang lagi jenuh sama pertemanan kita, makanya gue mau mencari udara segar dulu." ungkap gue tanpa memberi tahu permasalahanya sama Syifa.

Ya kali gue cerita sama dia. Bisa-bisa gue menyakiti hati anak orang. Terus, nantinya orang tua Syifa mendoakan gue jomblo seumur hidup gara-gara anak perempuannya disakiti oleh gue.
Dih amit-amit.

"Oh gitu..." Syifa manggut-manggut sambil mengembungkan kedua pipinya. "Aku mau tanya. Kenapa sih gak langsung nunggu di kelas? Malah duduk di pinggir lapang, sambil di bawah pohon gini?"

Semenjak gue gabung sama Jody, gue jadi betah diam di sini. Tempatnya pun enggak jauh dari gedung kelas yang akan gue masuki nanti.
Rasanya enak aja duduk di bawah pohon tuh, adem. Apalagi sambil tiduran.
Seperti kemarin.
Gue enggak langsung pulang, tapi gue menyempatkan untuk nongkrong di sini dulu. Gue bersandar pada batang pohon yang kokoh ini, dan akhirnya gue tertidur.
Beberapa orang yang berlalulalang menjadikan mata gue yang terpejam ini sebagai tontonan. Biasalah ya, tidurnya orang ganteng mah gitu. Menjadi daya tarik tersendiri bagi siapapun yang melihatnya.

"Sini deh." Gue menuntun Syifa untuk tidur di hamparan rumput, sambil menatap langit di bawah pohon ini. "Takut kotor gak? Kalo enggak, sini ikut goler, kalau takut duduk aja Syif, gak apa-apa."

AccountantSixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang