"Lo cantik, tapi sayangnya munafik."
🌵🌵🌵
"Ghea tolong panggil Dokter Risma sekarang! Kita harus membawanya ke rumah sakit."
Harry menarik lengan seragam Dion, tak sadar bahwa seseorang yang dia tarik seragamnya adalah salah satu seniornya, "Apa maksud lo dengan rumah sakit? Dia nggak apa-apa 'kan?"
Dion sejenak terdiam, namun bukannya menjawab pemuda itu menoleh pada seorang siswi yang dari tadi berdiri dan menatapnya, "Tolong panggil Dokter Risma."
Siswi bernama Ghea itu mengangguk, berlari ke luar dari UKS.
Tak mendapatkan jawaban, Harry mencengkram kedua kerah seragam Dion,"JAWAB GUE, RAYN KENAPA?" Harry berteriak, sangat keras membuatnya kembali menjadi pusat perhatian. Tetapi Harry tidak peduli, dia bukanlah tipe orang yang memiliki kesabaran yang tinggi, dan dia tidak suka jika seseorang tak menjawab pertanyaannya di saat kekhawatiran melanda dirinya.
"Debaran jantungnya sangat kuat dan cepat." Dion berucap kemudian, Harry mengerutkan dahi bingung, "Lalu apa salahnya? Kenapa Rayn harus dibawa ke rumah sakit?"
Dion mendengkus, melepaskan cengkraman tangan Harry pada kerah seragamnya, bukannya menjawab Dion malah melontarkan ucapan yang tak berhubungan dengan pertanyaan yang Harry tanyakan.
"Gue senior lo, seharusnya lo bisa lebih sopan pada orang yang lebih tua dari lo."
Harry berdecak pelan, "Gue nggak peduli." Pandangan matanya menajam, "Rayn kenapa? Lo bilang dia hanya demam 'kan?"
"Debaran jantung yang kuat, cepat dan tak beraturan bisa saja mengindikasikan seseorang mengalami--"
Ucapan Dion terpotong oleh suara pintu yang terbuka, pemuda itu menoleh mendapati Dokter Risma yang berjalan ke arahnya, "Ada apa Dion? Siapa yang harus dibawa ke rumah sakit?"
Dion membalikkan badannya, menunjuk Rayn yang terbaring di ranjang, "Dia. Debaran jantungnya terlalu kuat, cepat dan tak beraturan. Selain itu wajahnya sangat pucat, suhu tubuhnya panas, saya takut sesuatu yang buruk terjadi dengannya."
Dokter Risma segera memeriksa Rayn dimulai dari pupil matanya, denyut nadinya, detak jantungnya, suhu tubuhnya semuanya beliau periksa tanpa melewatkan hal terkecil sedikit pun. Wanita itu menggeleng pelan, beralih menatap Dion dan mengulas senyum lembut.
"Dia tidak apa-apa, hanya deman dan juga kelelahan, dehidrasi juga. Kamu tidak perlu membawanya ke rumah sakit, dia hanya perlu istirahat saja."
"Tadinya saya juga berpikir seperti itu, tapi Dokter debaran jantungnya terlalu cepat dan kuat. Bukankah hal itu tidak wajar?"
"Dia tidak apa-apa. Debaran jantung yang berdebar terlalu cepat, kuat, dan tak beraturan bisa disebabkan karena serangan panik atau cemas, latihan fisik yang berat, kafein, nikotin--misalnya yang berasal dari rokok--, demam, perubahan hormon yang diasosiasikan dengan kehamilan, menstruasi, atau menopause."
Dokter Risma menghela napas sejenak, menciptakan jeda di antara penjelasannya, "Mengonsumsi minuman yang mengandung alkohol. Obat-obatan tertentu yang mengandung stimulan, misalnya obat pilek dan batuk yang mengandung pseudoephedrine, obat asma (seperti salbutamol dan terbutalin), maupun narkoba (amfetamin, ekstasi, kokain, dan ganja)."
Dokter itu menunjuk Rayn, "Dan untuk dia, dia hanya mengalami demam, kelelahan dan juga kurangnya cairan dalam tubuhnya. Tidak ada penyakit yang serius terjadi padanya." Wanita paruh baya yang berusia sekitar empat puluh tahunan itu menepuk bahu Dion pelan, lantas tersenyum menenangkan, "Jangan khawatir, dia tidak apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAKTUS [Kisah Kita] #WYSCWPD
Teen Fiction"Satu hal yang harus lo tahu Rei, kaktus itu nggak butuh perhatian yang berlebihan, jadi berhenti memperlakukan gue seolah-olah gue anak kecil kalau lo nggak mau gue mati. Biarin gue yang jaga dan lindungin lo."--Rayn Abbraham, 16 tahun. "Gue emang...