1: Persahabatan Ini Lebih dari Mangkuk Mie

758K 20.1K 349
                                    

"AAAAH!"

Suara teriakkan dari arah dapur membuat Gellar buru-buru lompat dari kasur, menuruni anak tangga dan berlari ke belakang. "Kenapa Git?" tanyanya panik.

"Telornya kena sendok, jadi pecah," jawab perempuan yang sedang berdiri di depan kompor menyala, sambil memegang sendok di tangan kanannya. "Gue mau telornya setengah mateng..."

"Anjir!" umpat Gellar kesal. "Bikin mie aja hebohnya kayak kesiram air panas! Gue hampir jatoh di tangga tau gak?!"

"Ya lagian lo ngapain pake buru-buru turun segala? Gue kan nggak minta disamper." Gita membela diri, tidak terima dimarahi.

"Awas lo ya, lo tau kan di dapur gue banyak setannya? Mampus lo nanti ada kuntilanak yang duduk di atas lemari, terus lo diculik sana sama mie-mienya! Gak usah manggil-manggil gue minta pertolongan."

"Lar! Ngomongnya kok gitu sih!?" Gita lebih panik. Ia memang anti sekali dengan hal-hal yang berbau gaib, apalagi kalau sudah ditakut-takuti seperti itu.

"Bodo." Gellar kembali naik ke kamarnya.

"Gellar! Sumpah ya, temenin gue nggak?!"

Waktu sudah menunjukan pukul dua pagi, namun dua remaja yang ada di rumah ini enggan mengakhiri aktivitasnya karena besok adalah hari Minggu. Gellar masih anteng dengan video game yang baru dibeli hari Jumat pulang sekolah kemarin, dan Gita sedang asyik membuat mie di dapur.

"Lar, mienya udah jadi tuh." Gita masuk ke kamar sambil membawa satu mangkuk putih, dan headphone yang menggantung di leher. Dia pasti habis mendengarkan lagu setelah Gellar menakut-nakuti tadi.

"Punya gue mana?"

"Ambil sendirilah! Lo kan cuma minta dibikinin, bukan dibawain."

"Songong lu," cibir Gellar sebelum turun ke bawah untuk mengambil makanannya.

"Lar, tolong ambilin kerupuk ya sekalian!"

"Ambil sendirilah. Lo kan punya kaki."

"IH!" Gita merengut kesal. "Udah gue bikinin mie juga!" gerutunya.

***

Cahaya matahari dari luar menembus tirai putih yang tipis, membuat Gita mengerjap-ngerjapkan matanya. Tubuhnya masih pada posisi saat ia tidur, namun kedua matanya sudah menatap langit-langit kamar yang dihiasi lampu kekuningan yang tersembunyi.

Perlahan Gita mengangkat tubuhnya, matanya menyapu sekeliling kamar Gellar yang berantakan. Anak lelaki itu tertidur di bawah dengan televisi yang masih menyala dan dua mangkuk bekas mie semalam.

"Gellar," panggil Gita dengan suara serak. Ia berdeham. "Gellar!"

Gellar masih bergeming dengan kedua mata terpejam, sehingga Gita menarik bantal dari sebelah kanannya dan melemparkan benda itu ke arah Gellar.

"Gellar bangun udah siang!" serunya.

Alih-alih bangun dari tidurnya, Gellar malah memeluk bantal yang tadi dilemparkan oleh Gita.

Gita lantas beranjak dari kasur dan melompati koleksi DVD milik sahabatnya yang berserakan di atas lantai. Ia menggeser pintu kamar mandi, kemudian berdiri di depan wastafel dan menatap bayangannya sendiri.

"Ngantuk, astaga," gumamnya sebelum mengambil sikat gigi. "Ck, males banget sih ganti odol nih orang," protesnya, sembari mati-matian menekan tube pasta gigi yang sudah tipis.

Seusainya, Gita mulai membereskan dua mangkuk bekas mie di sebelah Gellar dan membawanya turun ke dapur. Kemudian ia mengambil dua cangkir di rak piring dan memasukkan dua kantung teh celup masing-masing satu. Gulanya hanya satu sendok, lalu diisi air panas tiga perempat gelas dan air biasa seperempatnya.

"GELLAR?" teriak Gita dari dapur. "GELLAAAAR!"

Gita meninggalkan dua cangkir teh yang baru dibuat, menghampiri Gellar yang masih terlungkup di atas karpet.

"Bangun, Lar!" Gita berjongkok, memindahkan Play Station yang berserak ke dalam laci.

Hampir setiap Minggu Gita selalu seperti ini. Bermalam di rumah Gellar, lalu paginya ia akan membuatkan teh panas untuk pengganti sarapan. Gellar bukan orang yang biasa makan pagi, begitu juga dengan Gita.

Mereka lahir di rumah sakit yang sama, tanggal dan tahun yang sama. Hanya saja, Gellar lebih dulu keluar tiga bulan sebelum Gita. Sejak mereka lahir, mereka sudah tinggal bertetanggaan dan jadi begitu akrab sampai sekarang.

Tahun terus berganti, banyak sekali peristiwa yang membuat mereka berdua akhirnya tidak tinggal berdekatan lagi. Orang tua Gita bercerai dan rumah yang ia tempati akhirnya dijual. Kini Gita hanya tinggal dengan ibunya di salah satu townhouse di Jakarta. Ayahnya sudah menikah lagi dan kini mereka menetap di Singapura.

"Bodo, tehnya adem."

Gita kembali turun ke dapur, duduk di kursi tinggi yang membuat kakinya menggantung sembari menyesap cangkirnya sesekali. Keheningan di rumah ini membuat paginya terasa tenang, berbeda dengan keheningan yang ia rasa di rumahnya yang justru membuat ia merasa kesepian.

Tak lama, Gellar turun dari kamarnya. Rambutnya berantakan dan kaos yang ia pakai tampak kusut. "Selamat pagi, Cinta," sapanya cuek.

Gita menatap jijik lelaki itu.

"Nyokap lo udah telepon?" tanya Gellar setelah meminum sedikit tehnya.

"Belom. Mungkin nyokap gue juga males kali ngomong sama gue jawabnya itu-itu doang."

"Bisa jadi."

Gita memicingkan matanya, melitik Gellar yang duduk berjarak satu kursi di sebelah kanan. "Kok lo malah jawab begitu sih?"

"Ya terus mau gimana?

"Ya apa, kek."

"Kalau gue nasehatin lo untuk nggak bersikap gitu ke nyokap lo, emang lo bakal dengerin gue?"

"Lo sama bokap lo aja kayak gitu," sahut Gita. "Sok-sok mau nasehatin gue."

Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada kehidupan Gellar. Tak lama setelah kepindahan Gita, kedua orang tuanya juga bercerai. Kini Gellar tinggal sendiri di rumah yang dibelikan ayahnya. Kedua orang tuanya masing-masing sudah menikah lagi. Perselingkuhan yang terjadi dalam rumah tangga itu membuat Gellar tidak mau memilih tinggal dengan salah satu di antara mereka. Oleh sebab itu, kini ia hanya tinggal dengan asisten rumah tangga, dan perempuan yang selalu menemaninya selama tujuh belas tahun.

Ia tidak punya keluarga untuk pulang, maka ia jadikan Gita sebagai rumahnya.

***

(ditulis ulang 2022)

Maps (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang