"Veee... Kamu dipanggil sama Pak Verry." Vina menyikut bahuku, membangunkanku dari ketenangan yang kunikmati.
"Ada apa?" Desahku pelan. Ahh mengapa mereka senang sekali menggangguku? Tak bisakah kudapatkan kedamaianku?
"Ikut saja."
"Baiklah." Ucapku pasrah. Kutinggalkan tempat ternyaman itu, aku beranjak menjauh dari bangku kedamaian. Kuikuti perlahan langkah Vina. Ia menuntunku ke BK. Ada apa?
"Vee, Silahkan duduk."
"Terima kasih, Pak." Aku memandang berkeliling. Di sana sudah ada Vallen. Aku curiga, apa yang sebenarnya terjadi.
"Begini, kami sudah menyelidiki siapa pencuri dompet Vanny. Kami menduga pelakunya adalah kamu." Terang Vina.
Kecurigaanku terbukti! Mereka menuduhku sebagai pencuri dompet Vanny. How Dare!
"Menurut salah satu saksi mata kami, kamu terlihat di TKP, Benar?" Vina membaca catatan yang dipegangnya.
Aku curiga, pertanyaan yang dibuatnya memojokkanku. Sejak dulu dia tak suka padaku karena aku tak pernah mau mengikuti peraturan yang dibuatnya di kelas.
"Ya, Jawabku pelan, "Tapi aku tak sendirian, ada Vallen di sana." Aku menoleh ke arah Vallen. Ekspresinya aneh dan sulit dibaca.
"Ya, aku disana." Vallen mengangguk.
"Sejujurnya dialah saksi matanya." Vina menimpali.
Aku mendesah pelan, "Jadi saya tertuduh? Apakah bapak mau menskors saya?" Kutorehkan pandangan pada Pak Verry.
"Tentu saja," Pak Verry tertawa pelan.
Aku tahu, dia ikut membenciku. Selera seniku aneh katanya. Angka rapor untuk kesenianku pun tak pernah beranjak dari angka 6. Dia memang tak pernah menyukaiku.
"Baiklah, kita tutup saja introgasinya. Pak, langsung saja skors saya." Aku mendesah pelan. Tak ada gunanya berdebat dengan mereka, akutak akan menang.
"Okay, as you want. Aku sungguh tak menyangka bahwa kamu itu klepto, Vee!" Vina menyelidik ke arahku.
Aku mendesis mendengar statemennya, "Aku mau diskors bukan berarti mengaku aku mencuri. Tapi aku sudah bosan berada di sekolah ini, dan akutak mau berdebat dengan kalian. Tak ada gunanya! Buat apa? Aku tak akan menang!! Aku mengaku untuk diskors. Jadi, mengapa tidak kukabulkan saja permohonan kalian?"
Mereka tercengang mendengar kata-kataku. Wajar saja! Itu kalimat terpanjang yang pernah terlontar dari bibirku. Aku yakin mereka tak percaya aku bisa mengeluarkan kata-kata sepanjang itu.
"Ya sudah..." Pak Verry mengalihkan pandangannya, berpura-pura sibuk mencari surat perjanjian.
"Tolong kamu tanda tangani ini, nanti akan saya berikan kepada kepala sekolah."
Ia menyerahkan kertas tersebut padaku.
"Terima kasih, Biar saya simpan surat ini, sampai kalian menemukan pelaku sebenarnya." Aku berlalu pergi. Aku sempat melotot kearah Vina dan Vallen. Lalu keluar dari ruangan itu seraya membanting pintu.
Aku berjalan cepat ke kelas. Tidak aku berlari. Aku tidak sedih, aku senang! Akhirnya aku bisa bebas dari kebisingan sekolah. Aku tertawa pelan, beberapa siswa menoleh ke arahku. Segera saja aku hentikan tawaku dan berkonsentrasi kembali ke kelas.
Aku meraih tas ranselku, menyimpan semua buku-bukuku. Di ambang pintu, aku bertemu Vanny.
"Good bye, klepto!" Ia tersenyum licik sambil menyenggol bahuku.
"Ketika kamu menemukan pelakunya, kamu akan menjilat ludahmu sendiri karena malu bahwa orang yang kamu agung-agungkan merupakan sang tertuduh. Dan orang yang selama ini selalu tampak kebencian di matamu, akan membalikkan semua lontaran keji itu." Aku membalas sinis ke arahnya.
"Kamu ngomong apa?"
"Lupakan saja, otak udang! Bergembiralah, aku tak akan menyetor mukaku untuk beberapa hari." Aku berlalu meninggalkannya seraya tersenyum puas. Aku merasakan kebebasan, aku bisa menghirup aroma kebebasan itu. Aku tertawa lepas, inilah yang selama ini ku inginkan.
YOU ARE READING
My Fault (?)
No FicciónAku sudah bosan. Aku sudah lelah. Dan aku letih. Sungguh, ambil aku. Bawa aku. Aku benci dengan semua himpitan ini. Bebaskan aku dari tekanan ini. Kumohon...