Isakan Yang Terungkap!

12 1 0
                                    


Sudah 3 hari aku diskors dari sekolah. Aku tak menikmatinya. Aneh. Yah, hari pertama aku sungguh menikmatinya. Namun, setelah itu semuanya terasa hambar. Mengapa? Apakah aku rindu sekolah? Tak mungkin. Itu tak mungkin terjadi. Bagaimana aku bisa merindukan hal yang selama ini aku benci dan membenci apa yang selama ini aku rindukan? Aneh, sungguh aneh.

Aku melamun memikirkannya. Di hadapanku tersedia air putih. Ya, hanya air putih. Tak ada cemilan. Singkong pun taka da. Aku terlalu melarat untuk itu. semua uangku dihabiskan untuk biaya pendidikan. Pendidikan memang mahal di Negara ini. Aku masih beruntung bisa sekolah, tetanggaku (yang kumaksudkan adalah gubuk-gubuk yang berdekatan dengan gubukku di bawah jembatan ini) masih banyak yang tak sempat mengecap pendidikan.

Pendidikan? Itu bukan kewajiban buat kami, masyarakat miskin. Makan adalah kewajiban primer bagi kami, karena itulah kami mencari uang.

Aku sudah cerita tentang lingkungan sekitarku? Jika kamu datang kesini, kamu akan menatap jijik. Lingkungan di sekitar rumahku begitu kumuh. Kamu tak bisa menemukan taman bunga disini, tapi kamu bisa menemukan taman sampah. Rumahku (yang kumaksudkan adalah "gubukku") tidak berada di kawasan elit perkotaan, melainkan slum area. Banyak pemerasan yang sering kulihat. Bullying? Sering sekali terjadi disini. Kuperingatkan, ini kawasan Texas. Kejahatan kriminal dihalalkan disini demi mendapatkan uang.

Nah, bila kamu merupakan anak dari keluarga berada, yang setiap hari makan roti serta susu, dan sebelum tidur berganti piyama, mencuci kaki, gosok gigi, dan membaca dongeng.... Kuperingatkan sekali lagi, jangan pernah datang kesini! Kamu tak akan merasa aman. Ini adalah neraka bagimu sejam disini sama dengan 1 tahun meni-pedi bagimu, sejam disini sama dengan seminggu tanpa bermain game, sejam disini kamu akan mengalami langsung segala kejahatan kelas dunia.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ponsel? Hahaha aku hanya bercanda. Tak mungkin aku mempunya ponsel. Yang kumaksud adalah bunyi kereta api yang melintas tak jauh dari gubukku. Bising sekali, tentu.

Bising. Kata itu kembali mengingatkanku akan sekolah. Kurasa aku merindukan kebisingan itu.

Ada yang mengetuk pintu gubukku,

"Permisi?"

Suara itu tak asing bagiku.

"Ya, siapa?" aku menjawab.

Ketika aku membuka pintu, aku melihat disana sudah ada Vina dan Vanny.

"Ada apa?" Aku mempersilahkan mereka duduk di tempat yang mereka duduki.

Aku tak punya ruang tamu. Buat apa? Siapa yang akan mengunjungiku?

"Ummm...emmm...begini...umm..." Vanny begitu gelisah. Aku diam, menunggu kata-kata selanjutnya keluar dari bibirnya. Namun, ia tak bereaksi apa-apa.

"Kamu apa kabar?" Vina bemanis-manis padaku.

Aku menyeringai,

"Tak perlu bermanis-manis. Terus terang saja, apa tujuan kalian?"
"Begini, kami sudah menemukan pelaku pencurian yang sebenarnya." Vanny berkata seterrang mungkin.

"Siapa?"

Sebelum Vina menjawab, Vanny dahulu menyahut,

"Vallen." Sahutnya pelan.

"Kok bisa?" aku bertanya heran.

"Dia mengaku kemarin. Dia berkata bahwa ia yang mencuri dompet Vanny. Dia sungguh menyesal, sekarang dia sudah dikeluarkan dari sekolah." Vina menimpali.

Aku shock.

"Di keluarkan? Mengapa?"

"Selain mencuri, dia juga pengguna narkoba." Ucap Vanny getir.

"Astaga!" aku terkesiap.

"Maafkan aku, Vee!." Aku sudah mencurigaimu. Aku sudah cemburu padamu yang diperhatikan Vallen. Padahal ternyata dia tak sekeren yang aku kira. Vanny menghambur ke pelukku sambil terisak.

"Aku juga, Vee!."

Vina ikut memelukku. Aku mengelus pundak mereka.

"Ya." Desahku pelan. Ketika mereka melepaskan pelukan mereka, kulihat senyum mengembang di wajah Vina dan Vanny di balik isakannya.




My Fault (?)Where stories live. Discover now