Bertahan

276 56 12
                                    


                Mataku menatap pria yang sibuk berbicara dengan seseorang di depan pintu. Aku tak mendengar jelas apa yang dibahasnya, namun yang ku dengar sesekali namaku mereka sebut. Bukankah telinga kita akan sangat mudah peka ketika nama kita disebut ? Walau tak yakin apa yang mereka bahas, namun aku tahu itu tentangku.

Saat ku dengar suara pintu ditutup, pria itu menghampiriku dengan senyum khasnya. Ingin ku balas senyumnya, namun bibirku terasa sulit tuk ku gerakan. Hanya kedipan mata yang dapat ku berikan untuknya, membalas senyumnya yang seolah mampu menjai obat ditengah luka yang menyakitkan.

Kyungsoo, pria itu, mengampiriku, mengecek selang yang menempel ditangan kananku. Setelah puas memeriksa segalanya, dia duduk tepat di sisi kananku, memegang erat tanganku sambil tersenyum. Sungguh, aku berani menukar dunia asalkan bisa melihat senyumnya lebih lama lagi. Dan mengapa semuanya baru ku sadari saat ini? Apakah terlambat untukku menikmati senyumnya?
"Ti, hari ini gimana? Kamu enakan? Tadi perawat bilang dosis infus kamu sudah bisa diturunkan, tubuh kamu sudah membaik. Kamu dengar aku, kan?"

Ku balas dengan mengedipkan mata. Yah, kebiasaannya setiap hari adalah bercerita banyak hal denganku. Dan caraku membalasnya hanya dengan mengedipkan mata. Sekujur tubuhku kaku. Bahkan menggerakkan jaripun sangat sulit. Saat pertama kali aku berhasil menggerakkan jariku, dua hari yang lalu, ku lihat pria ini menangis haru di depanku, menggenggam erat tanganku. Dan aku tak tahu, berapa lama lagi aku akan berada di posisi seperti ini.

Setiap hari, hanya Kyungsoo yang menemaniku. Sesekali Mama dan Papa datang, namun Kyungsoo sendiri yang meminta mereka untuk kembali ke rumah dan beristirahat. Mama dan Papa sesekali memaksa Kyungsoo untuk keluar, menikmati hari-harinya di luar, bukan di ruang rawat inap ini. Namun pria bermata belo dengan kulit yang sangat putih itu justru menggeleng dan ngotot untuk menemaniku di sini.

Pernah, sekali, ku dengar Mama bahkan memaksa Kyungsoo untuk meninggalkanku. Saat itu, mereka mengira aku sedang tertidur sehingga yakin aku takkan mendengar pembahasan mereka.

"Kyung, Mama tahu kamu pria yang baik. Mama tahu seberapa besar cintamu untuk Tiara. Tapi, tolong fikirkan dirimu, Nak. Kamu pria tampan, pekerjaan yang baik, sikap yang baik, diluar sana kamu akan mudah menemukan pengganti Tiara. Kamu takkan menemukan masa depan di Tiara. Dia... Dia tak sesempurna yang dulu."

"Ma, Tiara adalah dunia Kyung. Jika Mama minta saya memikirkan diri saya, maka saya akan memikirkan diri saya dengan Tiara. Saya sudah melalui banyak hal dengan Tiara, Ma. Tiara, setengah dari kisah hidup saya. Tolong, Mama dan Papa bisa minta apa saja, asal jangan minta Kyung ninggalin Tiara, apalagi disaat seperti ini."

"Tapi Nak, Tiara sudah terlalu sering menyakiti kamu."

"Pa, itu hanya masa lalu Tiara. Saya percaya Tiara menyayangi saya lebih dari yang saya fikirkankan. Memaafkannya mudah, Pa. tapi kehilangan dia, saya tak yakin sanggup."

Air mataku menetes ditengah mataku yang terpejam. Semua kesalahanku, menyakiti hati seorang pria sebaik Kyungsoo terlintas dibenakku. Bagaimana aku menduakannya, meninggalkannya bahkan dengan terang-terangan memilih pria lain di depan matanya hanya karena masa lalunya yang kelam, seolah terputar jelas dibenakkku.

Aku dan Kyungsoo telah saling mengenal sejak kami SD. Mama dan Papa mengangkatnya sebagai anak setelah dia menjadi yatim piatu saat orang tuanya meninggal dibunuh oleh rekan kerjanya. Hidup sebatang kara, Kyungsoo menjadi tipe anak yang mandiri. Aku menghabiskan banyak waktu dengannya, melihatnya tumbuh menjadi pria yang cerdas, baik dan tampan. Hanya satu kurangnya, latar belakang keluarganya.

#ImagineRecehWhere stories live. Discover now