Mira.
Sekarang udah jam 18.30 tapi aku masih harus kejebak macet di daerah Simatupang. Jalanan masih basah dan rintik-rintik air masih sesekali turun. Pikiranku melayang tanpa permisi dan membuka satu folder yang udah aku kubur jauh-jauh. Ah sial. Kenapa bisa-bisanya aku inget seorang laki-laki yang keberadaannya aja aku gatau dia dimana.
Fadli.
Satu nama yang masih terjaga dalam hati kecilku. Satu nama yang sampai saat ini masih aku pertahankan walaupun aku juga gak yakin.
Jalanan kota Jakarta selalu mengalami perubahan setiap harinya bahkan setiap menit atau detiknya, setiap orang juga pasti akan berpindah dari suatu tempat ketempat lain setiap harinya. Beda dengan aku yang masih tetap diam di satu tempat, menunggu dia datang kembali ke hidupku.
Aku sering menanyakan kepada diriku sendiri kenapa aku masih mau menunggu dia? Kenapa Mira? Kenapa? Ya Tuhan kenapa melupakan satu nama itu sangat sulit bagiku?
Memangnya kalau aku mikirin dia, kalau aku inget dia, dia inget aku juga? Engga kan. Stop Mira, stop. Aku gak boleh inget-inget Fadli lagi. Gak. Gak boleh.
Lamunanku buyar ketika mobil di belakang mobilku membunyikan suara klaksonnya. Segera aku singkirkan pikiran itu dan mulai melajukan mobil lagi dan melanjutkan perjalanan sampai ke rumah.
*****
"Kak, tadi ada yang nyari," kata Aira yang tiba-tiba udah masuk di kamarku.
"Siapa?" tanyaku acuh tak acuh.
"Gatau."
"Lah gimana sih. Lain kali tanyain dulu, dia siapa."
"Tapi aku udah pernah liat dia kak, tapi dulu, dulu pas kakak masih kuliah."
"Siapa? Perempuan atau laki?"
"Cowok."
"Cowok? Siapa?"
"Iya cowok, tinggi, ganteng banget kak."
Aku masih berpikir dan mengingat-ingat siapa yang dimaksud Aira.
"Katanya dia mau kesini lagi nanti."
"Hmm yaudah. Kamu ngapain disini? Keluar sana kakak mau tidur," ucapku begitu tau Aira malah merebahkan badannya di ranjangku.
"Ih pelit banget sih cuma mau tiduran doang juga."
"Keluar dek. Kakak capek."
"Iya iya nenek lampir," Aira keluar dari kamar dan langsung menutup pintu kamarku.
Aku masih terus mengingat-ingat siapa yang Aira maksud tadi. Siapa? Kalau aku berharap itu Fadli, apa aku makin terlihat bodoh? Bodoh karena hal itu sangat tidak mungkin.
Aku ambil ponselku yang tergeletak gak jauh dari jangkauan tanganku, dan mulai membuka menu contact, tertera nama dipaling atas adalah Fadli Karim. Iya, memang dari dulu aku gak ngerubah namanya dibuku kontak ponselku, tetap aku taruh diurutan paling atas. Dan tanpa permisi ibu jariku menekan tombol hijau dan panggilan pun tersambung.
Nada sambungan pertama dan kedua masih belum terangkat, kali ini yang ketiga dan panggilan diterima.
"Hallo?"
Aku diam. Aku kenal suara itu, sangat kenal. Suara yang paling aku rindukan sekarang. Suara yang dulu hampir setiap hari aku dengar.
"Hallo?" katanya lagi dan sukses buat aku buru-buru menekan tombol merah dan sambungan terputus.
Nah kan. Mira melakukan hal bodoh lagi dan kali ini benar-benar fatal. Ngapain juga aku telpon Fadli? Yang udah aku yakin banget kalau nomor akupun udah dia hapus dari kontaknya.
Sekarang, detak jantungku udah mulai bedegup gak karuan rasanya kayak habis lari marathon. Aku langsung melempar ponselku jauh-jauh dan berlindung dibalik selimut. Padahal gak ada hubungannya juga sih aku ngumpet toh itu cuma telpon.
Pikiranku kembali melayang dan menarik kesimpulan, "berarti Fadli gak ganti nomor. Berarti Fadli ada di Jakarta. Dan yang terpenting Fadli masih hidup."