bagian satu.

3.1K 531 27
                                    

Langit menggelap, disusul dengan gemuruh yang menandakan jika langit tengah murka. Lantas menjatuhkan tetesan air yang semula rintik, berubah menjadi guyuran lebat dengan kilat menyambar.

Di pusat ibu kota yang keras, pada bagian pertokoan dengan gang sempit, ia disana.

Menyandar lemah dengan beberapa goresan serta lebam di wajah. Membiarkan air langit membasahi tubuh, enggan berlindung dari tetesan yang membabibuta.

Seragam dengan lambang salah satu sekolah swasta yang terpandang, kini lusuh. Beberapa bagian sobek bernodakan darah. Sementara yang lainnya seolah baru saja menyelam dalam kubangan lumpur. Kotor dan berantakan.

Park Woojin—, si pemilik seragam lusuh itu meludah sembarang. Di balik iris tajamnya yang tertutup helai rambut yang lepek, ia dapat melihat dengan jelas jika— liurnya, bercampur dengan darah.

"Keparat sialan itu— akan kubalas mereka"

Ungkapnya dendam dengan seringai mengerikan disana.

Sesekali meringis akibat goresan melintang yang sepertinya cukup dalam di bagian lengan kirinya. Hari ini hari sialnya. Ia lengah saat seorang di antara 'musuhnya'  bergerak cepat untuk menikamnya dengan benda tajam. Namun Woojin bergerak gesit hingga lengannya yang terluka.

Bertarung menggunakan senjata bukanlah gayanya.

Woojin memiliki sesuatu yang tak satu pun orang dapat menirunya.

Tinjunya. Kepalan tangannya yang melayang kuat kepada siapa saja yang ia kehendaki.

Bertarung menggunakan alat sama halnya seorang pecundang; menurut si pemuda berambut merah.

"Sial! berhenti menjatuhkan air!"

Yang saat ini mesti ia lakukan adalah beranjak, lantas mengobati lukanya.



































▪ golden love ▪






































Hyeongseob menengadah. Menatap butiran air yang di jatuhkan langit di atasnya. Menangkap sebisanya dengan telapak tangan kecil miliknya. Untung saja ibu mengingatkan Hyeongseob untuk selalu membawa payung lipat di dalam ransel miliknya. Hyeongseob jadi tak perlu menunggu hujan agaknya reda untuk pulang ke rumah.

Memutar langkah menyusuri gang kecil guna mempercepat tempuhnya menuju rumah. Hyeongseob tak sabar di sajikan sup hangat oleh sang ibu saat ia sampai nanti.

Menajamkan tatapannya, memfokuskan ke sosok yang tengah bersandar tanpa niat melindungi tubuhnya dari guyuran hujan.

Dengan radius lebih kurang sepuluh meter, Hyeongseob jelas mengenal siapa si surai merah.

Dia Park Woojin si brandal dari sekolah swasta elit yang letaknya tak jauh dari sekolahnya.

Hyeongseob tipikal orang yang malas berseteru. Terlibat dengan orang-orang 'bermasalah' sejenis Woojin. Ia harus mempertahankan tabiatnya yang baik, agar kursi beasiswa miliknya tak lengser jatuh ke tangan orang lain. Hyeongseob sudah berjanji tak akan merepotkan sang ibu.

Dalam hati menimbang segala macam pilihan yang membuatnya termenung sejenak dengan payung biru gelap dalam genggaman.

Woojin— nampak tak berdaya di sana. Jika Hyeongseob meninggalkannya lantas apa yang terjadi pada pemuda itu? Apakah ia akan jatuh pingsan? atau— yang lebih buruk dari itu menggerayangi pikiran Hyeongseob. Memantapkan hati jika pilihannya membantu si brandal kecil itu adalah hal yang tepat. Ibu selalu mengingatkan, agar ia menjadi seseorang yang tak ragu untuk menolong tanpa pandang bulu.

"Kau bisa berdiri? jika terus di sini kau akan jatuh sakit emm— Park Woojin-ssi"

Hyeongseob menghalangi jatuhnya air yang menimpa si pemuda dengan kondisi tak layak disebut baik. Membiarkan sebagian tubuhnya basah karena harus membagi payungnya.

Ia menjulurkan tangan. Hendak menyentuh bahu si surai merah, namun dengan keras di tepis si pemilik. Hyeongseob mengerjap. Tadi itu— di luar dugaannya.

"Tak usah bertingkah baik sialan. Pergi. Atau wajah mulusmu setidaknya ternodai dengan tinju milikku"

Hyeongseob menghela napas. Selain malas berurusan dengan orang semacam Woojin, Hyeongseob juga membenci orang yang memiliki sifat arogan semacam pemuda bersurai merah di hadapannya. Hyeongseob tak menyukai orang yang dengan gamblang melempar tinju tanpa berpikir dua kali. Tidak, bukannya Hyeongseob tak bisa melakukan hal serupa. Jika ia ingin, Hyeongseob bisa saja merobek bibir Woojin akibat pukulan menghantam pipi si brandal. Namun Hyeongseob harus pandai-pandai bertingkah. Semua tergantung pada gerak geriknya.

"Jangan keras kepala. Cepat bangun, kita obati lukamu"

Dapat ia dengar Woojin mendecih tipis.

"Sudah kubilang tinggalkan! jangan membuatku marah sialan!"

"Kau kesakitan! mana bisa aku meninggalkan seseorang yang kesusahan sepertimu seorang diri!?"

Lantas berakhirlah dengan Woojin yanh di papah oleh Hyeongseob meski sesekali mengalami kesulitan; sebab si brandal kecil itu lebih tinggi darinya.































Golden Love ;jinseob Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang