bagian tiga.

2.2K 466 112
                                    

Woojin sebenarnya malas melakukan hal ini. Tetapi ia masih memiliki etika untuk membalas budi seseorang. Terlebih yang menolongnya. Maka dari itu, alasan itulah yang menyeret langkahnya menuju gedung sekolah negri yang letaknya tak jauh dari sekolahnya.

Bermaksud menemui seseorang dengan menungguinya didepan gerbang.

Bertindak apatis mana kala sebagian besar siswa melempar tatapan ngeri bahkan tidak banyak yang menatapnya penuh ketakutan. Yah, nama Park Woojin sendiri sudah terlalu masyhur sebagai berandal yang tak jarang memeras siapa saja yang ia temui.

Namun satu fakta yang tak bisa ditampik dari seorang Park Woojin ialah, parasnya yang tampan. Garis wajah tegas dengan rahang serupa. Bentuk hidung runcing namun tak berlebihan, bibir tipis yang menyempurnakan, serta garis mata sipitnya yang tajam. Park Woojin pemuda yang diberkahi wajah tampan, siapapun mengakui hal tersebut.

Tak jarang jika segerombol siswi memekik antusias mendapati si berandal tampan sekalipun ia memasang wajah tak bersahabat.

Lagi pula, bukankah Park Woojin itu sempurna? ia tampan dan kaya. Jika saja perangainya lebih baik maka sosok pemuda Park itu pasti lebih banyak mencuri hati gadis-gadis.

"Oi kerdil"

Hyeongseob yang baru saja melewati gerbang bersama salah seorang temannya, menoleh ke arah si berandal. Woojin mendekatinya dengan santai. Tanpa mau tau jika teman Hyeongseob ketakutan disisi pria mungil itu.

"Mau apa kau kesini?"

Woojin mengangkat alis tinggi-tinggi. Melirik pemuda yang sedikit lebih berisi dari Hyeongseob dengan tatapan menyelidik. Nampak tak asing untuknya.

"Ah, jadi kau teman si kerdil ini? lain kali aku tak akan memalak uangmu"

Hyeongseob membulatkan mata. Menoleh meminta jawaban kepada sahabatnya; Lee Donghyuck atau yang lebih dikenal Haechan.

"Berandal ini memalak uangmu Haechan-ah!? Ya! Park Woojin kau benar-benar!"

Woojin meringis saat Hyeongseob menendang tulang keringnya. Ow itu sangat sakit omong-omong.

"Tak apa Hyeongseob-ah, lagi pula ia sudah berjanji tak akan melakukannya lagi"

Woojin membela diri. "Kau dengar kerdil? ia baik-baik saja kenapa kau harus marah?"

"Siapa yang kau panggil kerdil huh!? dasar menyebalkan!"

Haechan terkekeh tipis. Entah bagaimana caranya, ia tak mengerti sejak kapan Hyeongseob dan Park Woojin dari sekolah elit itu terlihat akrab. Haechan ingin tau, tapi ia rasa akan mencari taunya nanti.

"Seob-ah, bolehkah aku pergi lebih dulu? Minhyung sudah menungguku"

Hyeongseob mengangguk, hampir saja lupa jika temannya itu memiliki kekasih.

"Oi, kau mengabaikanku?"

Hyeongseob mendengus. "Apa yang kau inginkan Park?"

"Aku lapar. Ayo makan biar aku yang nembayar"

Si mungil mengernyit bingung. Yang dihadapannya ini benar-benar Park Woojin si tukang pukul itu kan? apa dia dirasuki arwah leluhur hingga berbaik hati mengajaknya makan bersama?

"Anggap saja balas budi. Aku akan bersikap baik semampuku. Dan mengenai temanmu yang bulat itu, aku tak akan mengganggunya lagi"

Hyeongseob mengangguk saja, toh ia sangat lapar saat ini. Ramyeon dengan ekstra telur nampaknya tak buruk.



























Golden Love ;jinseob Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang