|Written on June, 5th 2018|
Tak peduli seberapa murahnya harga barang yang kamu kenakan. Tak peduli bahkan jika itu semua hanya barang diskon yang dijual secara obral. Tapi faktanya, wajah menentukan segala penilaian orang lain tentangmu. Believe me!
-Langit Angkara Pradja-
.
.
.
Dua roda koper berwarna hitam berputar laju mengikuti langkah tegap seorang pemuda yang menyeret benda itu dari arah depan. Dia mengenakan jeans dan t-shirt putih berbalut jaket kulit hitam legam. Warna yang cukup kontras untuk kulitnya yang terlihat cerah, secerah pagi ini baginya.Bandara Soekarno, menjadi landasan terakhir setelah menempuh perjalanan berjam-jam di ruang langit. Jarak tempuh antar Amerika dan Indonesia, membuat seluruh tulang para penumpang seakan remuk tak tertolong. Terutama pria itu, dia dengan dua kaki panjangnya yang harus rela ditekuk paksa selama berjam-jam lamanya, kini harus dibuat berjalan sejauh dua kilometer hanya karena alasan--- menghemat uang taksi.
"Gila! Aku enggak nyangka cuaca di Indonesia bakal sepanas ini", pria itu mengeluh sambil terus melangkah, menyusuri area trotoar di jalan besar. Sedang keringat sebesar biji jagung mulai membasahi wajah dan tubuhnya. Hingga dengan terpaksa dia harus membuka jaket kulit yang ia kenakan.
"What the fuck!" Ia berteriak kesal sekaligus terkejut saat sinar mentari di jam sepuluh pagi itu menyinari kulit mulusnya dengan sengatan perih seketika jaket tersebut terlepas. Sigap, ia berlari, memilih berteduh di bawah rindang pohon mangga terdekat. "Oh, sialan! Benar-benar diluar perhitungan. Mana lagi keburu pula. Bisa-bisa aku sampai apartemen melewati jam sebelas. Shit!"
Tak tunggu lama. Ia kemudian merogoh ponsel dari dalam kantong jaket dan mengunduh aplikasi Grab sesigap tangannya berselancar di atas pemukaan layar benda itu. Butuh waktu seperempat jam hingga mobil berwarna hijau yang dimaksud menyambangi tempatnya berada.
Pria berumur dengan rambut tercukur asal-asalan menghampirinya. "Mas yang namanya Langit Angkara Pradja." Yang disebut mengangguk. Tak begitu menghiraukan dia malah berjalan memunggungi si supir. "Koper saya letakkan di bagasi."
"Eh? Koper yang mana, mas?" Tanya si supir.
"Itu loh di belakang, pak." Langit hanya menunjukan arah seaadanya dimana koper itu berada dengan dagu. Tak perlu menoleh ia pun bergegas menempatkan diri nyaman di dalam benda beroda empat tersebut. Ia menurunkan kaca jendela dan kembali bersuara. "Buruan! I'm in hurry! Kopernya di----"
Si supir menyela, "Ada dua mas kopernya. Yang mana satu."
Pria itu, Langit menghela nafas panjang. Tampak satu koper lagi tergeletak asal di antara rerimbunan semak, bersisian dekat dengan kopernya. Dan dua koper itu tak punya pembeda hingga Langit mengerutkan dua pangkal alisnya bingung. "Yang mana koperku?"