3

12 7 0
                                    

Desir angin seolah menusuk kulitnya yang putih mulus dengan rona kemerahan. Perlahan ia balut tubuhnya dengan handuk karena menggigil kedinginan.

Kedua tangannya melipat di dada, raut wajahnya tampak kesal ketika melihat Jovan yang tersenyum penuh kemenangan. Jovan mampu membuatnya hampir mati kedinginan tenggelam di dasar kolam yang cukup dalam.

Selangkah dua langkah kakinya terus berjalan menjauhi kolam, kedua matanya menatap tajam ke arah pria kecil tak jauh berbeda tingginya di banding dia.

Pria itu tengah memegang pistolnya seraya menyunggingkan senyum manis kepada May yang masih menatapnya tajam dengan bibir mengerucut.

Iri, itulah kata yang tepat untuk mewakili perasaanya saat ini. May sangat iri kepada April,—kakak laki-lakinya yang lebih pintar dan hebat menggunakan senjata api serta senjata tajam semacam pisau juga yang lainnya.

"Hei!" sapa Jovan pada May yang sudah ada di hadapannya.

"Berhentilah menggangguku kakak!" ucap May dengan ketus.

"Apa kau bilang? Maaf aku tidak mendengarnya. Kakak? Ulangi lagi?"

"Kakak!"

"Apa?" tanya Jovan sembari mendekatkan wajahnya di depan Wajah May.

Embusan napas Jovan terasa hangat di wajahnya, detak jantugnya seketika berdegup tak menentu, pandangan matanya menusuk iris mata biru miliknya. Detik waktu berlalu, tapi posisi keduanya masih sama hingga suara benturan dari pisau dan timah panas beradu terpental dari atas kepala mereka berdua.

"AYAH ...!" ucap MAy, Jovan, dan April secara bersamaan.

Andi menatap tajam ke arah April yang mulai menunduk dan menyembunyikan belati di belakang punggungnya.

Pandangan Andi beralih pada May dan Jovan yang masih dalam posisi berhadapan. Andi mengangkat kedua alisnya serta membuka tangannya mengisyaratkan agar May menghampirinya.

May menyunggingkan senyuman manis lalu mendorong Jovan cukup kuat hingga ia terjungkal dan terjatuh dengan posisi terlentang.

"Argh ... sial!" umpatnya.

May berlari dan berhambur ke pelukan Andi.

"Ayah, aku hampir mati kedinginan di dasar kolam itu, Jovan membuatku menggigil dan lihat ini! Rambutku tidak bagus lagi."

Andi terkekeh mendengar keluh kesal May yang merengek dan mengedipkan sebelah matanya pada Jovan.

"Semua itu aku lakukan karena kamu terlambat bangun pagi ini, jadi pelatiahan berenang dan bertahan di dalam air aku tambah." tutur Jovan.

"Ah, satu lagi. Kecebong sepertimu jangan pernah berharap memegang pistol atau pisau. Apalagi menandingi kehebatan April, itu tidak mungkin jika kau tak bisa mengalahkan aku." tambahnya lagi.

May diam seribu bahasa mendengar semua ucapan Jovan, ia tidak bisa menyangkal dan membela diri karena pada kenyataanya memang dia salah. May sengaja tidak bangun sesuai waktu yang telah di jadwalkan oleh Andi dan Jovan untuk berlatih pernapasan serta berenang.

Bibirnya mengerucut dan wajahnya di tekuk seketika terdengar April mulai membuka suara.

"Kura-kura! Dia itu bukan kecebong tapi kura-kura, lamban!"

"Kecebong!" panggil Jovan pada May.

"Berhenti memanggilku seperti itu kakak. Call me, May!"

***

"Kecebong, kura-kura lamban!" May tersenyum mendengar gumamnya sendiri.

Flow memutar kursinya, ia hendak bertanya tetapi takut bila gadis di depannya kembali membuat jantungnya kembang kempis atau melompat dari tubuhnya. Alhasil Ia hanya tersenyum tipis melihat May yang mulai beranjak dari kursi piano lalu berjalan ke luar kamar. Sejenak Flow menghela napas dan siap membongkar belati yang diberikan May. Namun, tampaknya ketenangan itu tak berlangsung lama, sebuah piring kecil melayang dan hampir mendarat di kepalanya.

"Apa yang kau lakukan, May? Apa belum cukup puas sedari tadi membuatku hampir mati? Apa kau benar-benar ingin membunuhku?"

"Tenang, sayang. Aku hanya mencairkan suasana agar kau tidak terlalu tegang mendengarkan ceritaku selanjutnya."

Flow berdecih. "Ayolah, May. Berhenti menceritakan hal tak penting tentang sejarah kelahiranmu dan asal usul ayahmu serta nama yang tidak kau sukai itu. Langsung saja ceritakan mengapa saat itu kau menembakku dan meninggalkan aku di sana?" Kali ini Flow tidak menyebutkan nama asli May yang diberikan ayahnya, ia tidak ingin nyawanya kembali terancam meski dalam candaan si gadis dewa kematian.

May melemparkan toples berukuran sedang yang berisi selai blueberry, dengan sigap Flow menangkapnya dan meletakan di meja. Tapi toples itu pun kembali berpindah tempat setelah May menyuruh Flow agar mengmbilnya dan memegangnya di atas kepala pria yang masih terikat. Darah masih terus mengalir perlahan dari baju pria itu.

May melangkah ke sisi sudut kamarnya di samping piano yang berlawanan arah dengan Flow dan pria tak berdaya di ujung sana. Ia membuka pintu lemari kaca dan mengambil senjata api jenis Colt 1911 dan Glock 20. May menutup kembali pintu lemari tersebut dan berbalik dengan membawa pistol di kedua tangannya.

Dor!!


***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Call Me MayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang