Panggilan bagi penumpang kereta api jurusan Kediri-Jakarta bergema di peron Stasiun Kediri, Jawa Timur. Air mata kembali membasahi pipiku yang belum lagi kering. Sebuah dekapan hangat dan panjang dari ibukulah yang akhirnya bisa meredakan isak tangisku.
“Pergilah, Nak.”
Aku melepaskan dekapanku lalu menatap ibu dengan sedih.
“Apa Kakak takut?”Aku mengangguk. Ini pertama kalinya aku meninggalkan kota kelahiranku dan tinggal berjauhan dari ibu dan kedua adikku. Bukan cuma sehari dua hari tapi lima tahun!
“Kenapa Kakak takut?”
“Laras takut tinggal sendirian di Jakarta, jauh dari Ibu dan adik-adik.”
“Kakak nggak sendirian karena ada Tuhan yang menemani.”Aku terdiam. Aku meragukan perkataan ibu. Jika Tuhan memang ada lalu mengapa Dia tak menjawab doa-doaku. Doa yang aku panjatkan setiap malam menjelang tidur, doa yang menjadi mantera penenang hati di kala aku merindukan ayah.
Aku ingat betul, bagaimana setiap malam aku tekun berdoa, berharap esok pagi bisa melihat ayah sedang membaca koran di teras, ditemani secangkir kopi, lalu aku akan melompat ke pangkuannya dan merajuk minta dibacakan sebuah cerita. Namun hari berganti bulan hingga tahun, doaku tak jua terkabul. Harapanku pupus perlahan. Tepat di hari ulang tahunku yang ke lima belas, aku memutuskan berhenti berdoa. Menurutku Tuhan mungkin lupa atau terlalu sibuk mengurusi dunia.
“Jika Kakak merasa sendirian, itu artinya Kakak sedang menjauh dari
Tuhan,” kata ibu lembut seraya merapikan barisan poni yang membingkai wajahku. “Tuhan selalu bersama kita. Tuhan itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher kita.”Aku mengernyitkan dahi. Ah, Ibu. Andai kau tahu, Tuhan telah sejak lama meninggalkan kita.
Panggilan terakhir bagi penumpang kereta api jurusan Kediri-Jakarta
kembali bergaung melalui pengeras suara. Dengan sigap aku menyampirkan tas ranselku ke atas pundak, mengangkat koper besarku lalu mencium tangan ibu.“Aku akan segera lulus dan menjadi dokter yang hebat, Bu. Ibu dan adik-adik akan kubawa ke Jakarta dan kita bisa berkumpul lagi.”
“Ibu percaya, Nak.”Lengkingan suara pluit membuatku terlonjak dan aku pun bergegas
menuju kereta. Tepat ketika kakiku menjejak masuk, pintu kereta menutup. Dari balik pintu, aku melihat ibu menyeka kedua matanya dengan ujung sapu tangan. Sekuat tenaga aku meneguhkan hati, menahan desakan aliran yang sama dari kedua mataku.Aku sadar harapan masa depan keluargaku berada di pundakku. Aku akan membuktikan bahwa kami sekeluarga dapat hidup jauh lebih bahagia dan sejahtera meski tanpa kehadiran seorang ayah. Aku harus mengejar mimpiku, menamatkan kuliah di fakultas kedokteran dan menjadi seorang dokter. Oh tidak,
bukan sekedar dokter, tapi dokter yang luar biasa sukses!Aku masih berdiri di depan pintu kereta, menyaksikan pemandangan Kota Kediri dari balik kaca yang tertutup selapis embun tipis pagi hari. Ada kesenduan yang mengiringi kepergianku, bercampur dengan kegelisahanku yang akan memulai kehidupan baru di Jakarta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Tanpa Warna (COMPLETED)
General FictionLaras, psikiater muda yang sedang meniti puncak karirnya didiagnosa terkena kanker payudara. Bagi Laras pencapaian karir adalah segalanya sehingga bahkan ia mengabaikan hal-hal penting dalam hidupnya, seperti kesehatan dan cinta. Kesibukan Laras ya...