Meja makan penuh sesak oleh aneka hidangan berwarna-warni yang ditata apik di atas piring-piring porselen putih mengkilat beraneka bentuk. Khusus malam ini, Arga sedikit melonggarkan juklak makanan sehat dalam masakannya. Walhasil, di atas meja kini tersaji gulai kari kambing dengan kuah santan yang kental dan udang galah panggang saus mentega ukuran jumbo yang aromanya membuat perut bergelinjang. Selain itu, Arga juga menyiapkan menu spesial, mushrom masala, yang merupakan modifikasi dari masakan India yang kaya bumbu rempah. Masih ada pula sepinggan besar asinan sayur, kerupuk dan aneka sambal yang ditaruh dalam mangkuk-mangkuk cantik.
"Bagaimana penelitianmu?" tanya ayah Arga sambil menyuapkan sesendok nasi dan potongan kari kambing ke dalam mulutnya.
"Sudah selesai, Om," jawabku seraya menyendokkan seekor udang galah ke atas piring.
"Kata Arga, kamu sibuk sekali gara-gara penelitianmu itu."
Aku diam-diam menatap Om Handoyo, memperhatikan raut wajah dan gerak tubuhnya, mencari maksud tersembunyi dari perkataannya barusan. Tapi aku tak menemukan tanda-tanda kalau ayah Arga bermaksud menyindir atau menyalahkanku.
"Kata Arga, Om dan Tante habis liburan dari Amsterdam, ya? Bagaimana liburannya, Om?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Sebetulnya itu bukan liburan, kami cuma menengok teman lama di sana. Tapi cukup menyenangkan."
"Kamu juga perlu liburan, Laras. Jangan kerja melulu," timpal ibu Arga.
Aku nyaris tersedak. Kuperhatikan raut wajah Tante Handoyo dengan curiga namun lagi-lagi tak ada pertanda yang ganjil. Wanita paruh baya itu kini terlihat sibuk mengambil potongan-potongan daging udang galah dengan garpu.
Sebetulnya tak ada yang salah dengan ucapan kedua orang tua Arga, hanya saja malam ini aku jadi terlalu sensitif dan banyak berprasangka. Kuamati kembali wajah kedua orang tua Arga. Dan aku masih tak menemukan setitik pun petunjuk kalau keduanya sengaja merekayasa percakapan dengan maksud menggiring pembicaraan pada rencana pernikahanku dengan Arga.
"Iya, Tan. Mungkin bulan depan Laras akan ambil cuti."
"Bagus itu! Rencananya kamu mau liburan ke mana?" tanya ibu Arga bersemangat. Sepertinya ia tak menyangka kalau sarannya tadi akan mendapat sambutan dari calon menantunya yang super workaholic ini.
"Belum tahu, Tan. Mungkin ke Bali," jawabku, asal sebut saja.
Sebetulnya niatku mengambil cuti bukan untuk liburan melainkan berobat dan beristirahat. Semenjak beberapa bulan terakhir, aku menyadari kalau alarm tubuhku telah berulang kali memberi peringatan, sakit kepala yang tak kunjung hilang, rasa kebas pada ujung-ujung jari dan asam lambung yang kerap naik.
"Ngomong-ngomong Diandra ke mana, Tan?" tanyaku, menyebut sepupu Arga yang tinggal di kediaman Om dan Tante Handoyo.
"Ada acara dengan teman-teman sekolahnya. Katanya, sih, nonton konser musik. Anak-anak makin besar makin sibuk dengan urusannya sendiri," kata ibu Arga mendesah pelan. "Kayak Arga, nih, sebulan paling cuma mampir sekali buat nengokin tante."
Sepertinya Arga tidak mendengar perkataan ibunya barusan. Ia sedang sibuk menganalisis rasa udang galah panggang yang berwarna merah menyala, hasil kolaborasinya bersamaku.
"Hmmm... Ini enak," kata Arga. "Bagaimana menurut Mama? Ini masakan Laras, lho!"
"Oya? Kamu bisa masak juga?" tanya ibu Arga takjub. "Rupanya calon mantu kita ini paket komplit, Pa. Pintar, cantik dan pandai masak."
"Itu tadi dibantu Arga juga, kok, Tan," jawabku tersipu malu.
"Kalau begitu kapan kalian menikah?" tanya ayah Arga tiba-tiba, tanpa tedeng aling-aling.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Tanpa Warna (COMPLETED)
Fiction généraleLaras, psikiater muda yang sedang meniti puncak karirnya didiagnosa terkena kanker payudara. Bagi Laras pencapaian karir adalah segalanya sehingga bahkan ia mengabaikan hal-hal penting dalam hidupnya, seperti kesehatan dan cinta. Kesibukan Laras ya...