Aku menatap bayanganku di cermin. Rambut menipis acak-acakan, kulit kuyu seperti tanaman tak disiram seminggu, tulang pipi yang menonjol, jari-jari tangan dan kaki yang menghitam. Hatiku terasa pilu. Sekarang penampilanku tak lagi semenarik dulu.
Bukan cuma merusak penampilan, kemoterapi juga melemahkan tubuhku, sehingga aku terpaksa meminta pengunduran jadwal penyusunan tesisku.
Aku menyapukan jemariku pada rambutku yang acak-acakan. Namun alih-alih merapikan, aku malah menarik sejumput besar rambut. Untuk pertama kalinya, ini bukan lagi helaian tapi gumpalan-gumpalan rambut yang menciutkan hati. Sebentar lagi aku akan botak! Aku menghela napas dan berusaha mengusir kegalauanku dengan memikirkan wig cantik yang minggu lalu kubeli. Lagi pula, ini cuma sementara. Pasca kemoterapi, rambutku akan tumbuh kembali seperti sedia kala.
Aku berjalan ke kamar ganti dan mencari setelan ajaib yang kuharap dapat memperbaiki penampilanku. Kumeraih rok berpotongan lipit yang bisa menutupi berat badanku yang semakin menyusut dan blus berwarna peach bisa memberi cahaya pada wajahku yang pucat. Sesudah itu, aku mengoleskan concealer di bawah mata, memulaskan lipstik merah muda dan maskara hitam, kemudian mengeluarkan wig dengan model rambut ala Jennifer Aniston dari dalam lemari lalu mengenakannya di kepalaku. Sejenak, aku terpaku memandangi cermin. Aku mengibas-ngibaskan rambut baruku yang lurus dan hitam mengkilat ini ke kanan dan ke kiri, yang tergerai melewati kedua bahu dan menutupi sebagian punggungku.
Hari ini, merupakan jadwal kemoterapiku yang keempat. Arga berjanji akan menemaniku namun aku menolak dijemput dan memilih bertemu di rumah sakit saja. Aku merasa badanku sudah cukup sehat.
Kemoterapi memang membuatku tak berdaya. Pasca kemo, tubuhku dibuat lemas tak bertenaga sehingga pekerjaanku cuma tidur dan makan. Namun seminggu kemudian, aku bisa mendapatkan dua minggu kehidupan normalku kembali, sebelum kemudian mengulangi siklus yang sama pada kemoterapi selanjutnya.
Untuk terakhir kalinya, aku memperhatikan bayanganku di cermin. Mungkin ini bukan penampilan terbaikku, tapi ini lumayan. Kusambar botol parfum di sudut meja dan menyemprotkan isinya beberapa kali. Sesudah itu, aku bergegas berangkat ke rumah sakit.
***
Aku berbaring dengan gelisah. Tak seperti biasanya, pada kemoterapi yang keempat ini aku merasa begitu tegang. Aku teringat pengalaman kemoterapi sebelumnya yang membuatku harus dilarikan ke IGD lantaran mengalami muntah dan diare berkepanjangan.
Kemoterapi ketiga, tiga minggu lalu, merupakan yang paling berat. Dua hari sesudah kemoterapi, aku merasakan perutku melilit dan sakit luar biasa. Aku berkali-kali muntah dan buang air, suhu tubuhku juga naik tinggi. Pemicunya gara-gara makanan pedas. Menurut dokter, kemoterapi dapat merusak dinding lambung sehingga seharusnya aku tak boleh makan makanan yang pedas dan asam.
Seorang perawat menyapaku ramah kemudian memasang infus di tanganku. Sekonyong-konyong aku merasakan dorongan kuat yang naik hingga ke kerongkonganku. Padahal obat kemoterapi belum lagi dimasukkan. Aku tahu ini semacam placebo negatif akibat ketakutanku sendiri. Perawat itu kemudian memberitahu kalau obat kemoterapiku sedang disiapkan dan memintaku menunggu sebentar.
Sambil menunggu datangnya obat, aku memeriksa ponselku. Rupanya ada pesan singkat dari Sandra.
"Bagaimana kemonya, Mbak? Oya, ada grup khusus survivor kanker di Facebook. Jadi kita bisa berbagi pengalaman dan saling menyemangati. Mbak mau saya masukkan?"
Aku mengetik balasanku, meminta Sandra memasukan aku ke dalam grup itu sekaligus menanyakan kabarnya.
"Belakangan ini saya semakin sering batuk-batuk, padahal luka di payudara saya sudah mulai sembuh. Makanya saya mau konsul ke dokter."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Tanpa Warna (COMPLETED)
General FictionLaras, psikiater muda yang sedang meniti puncak karirnya didiagnosa terkena kanker payudara. Bagi Laras pencapaian karir adalah segalanya sehingga bahkan ia mengabaikan hal-hal penting dalam hidupnya, seperti kesehatan dan cinta. Kesibukan Laras ya...