Masih teringat amat jelas dalam otak besarku tentang peristiwa itu. Tepat di usiaku 9 tahun, aku dan kakakku yang berusia 3 tahun lebih tua dariku sedang menikmati acara televisi di chanel kartun kesukaan kami.
"Kak, kok anjing di TV bisa ngomong sih? Padahal anjingnya Justin temanku gak bisa ngomong lho." Ocehku sembari menunjuk- nunjuk televisi.
" Iya, itu namanya kartun Scooby Doo dek. Makanya bisa ngomong." Jawab kakakku sekadarnya.
"Ooh. Kak itu kok orangnya gak takut digigit ya kak, padahal anjingnya gede banget lho, kayak Bleki anjingnya pak RT." Ucapku sembari memukul pelan pundak kakakku .
"Dia anjing baik makanya gak gigit. Sudah ah gak usah nanya- nanyak lagi. Kalo nonton TV itu diam aja perhatikan tuh TV gak usah nanyak terus." Omel kakakku.
"Kan aku cuma nanyak kakak. Jangan marah- marah gitu dong." Rajukku.
"Sstt. Cerewet."
Setelah pertikaian kecil itu kami kembali menonton televisi. Aku dan kakakku seperti terhipnotis pada layar televisi yang sedang menampakkan adegan si tokoh kartun yang dikejar oleh hantu. Aku pada saat itu merapatkan badan ke arah kakakku. Aku ketakutan.
" Kak, itu dia dikejar- kejar hantu apa gak takut ya? Kalo aku disitu sih tinggal panggil pak ustadz pasti hantunya langsung hilang. Pak ustadz kan hebat. Betul kan kak?" ujarku
"Tadi kan aku susah bilang kalo nonton itu diam aja gak usah cerewet. Berisik tau." ujar kakak marah sembari menjambak rambutku.
" AAAA.. Bu sakit bu kakak jambak rambutku!!" teriakku dengan kekuatan 1000 toak.
"Kak lepasin!"
"Makanya kalo aku ngomong didengarin. Kapok biar tahu rasa kamu.""IBUUU...KAKAK NAH!!"
"Piiiiin....DEVIN. JANGAN GANGGU ADEKMU. AWAS AJA YA SAMPE IBU KESANA! " teriak ibu dari arah kamar.
Kakaku pun melepaskan jambakannya. Kepalaku sakit. Kulihat kakakku membersihkan beberapa helai rambutku yang rontok ditangannya.
Jika ku kenang masa itu sangatlah indah. Seperti tidak ada dinding gengsi yang membatasi kasih sayang antara aku dan kakakku. Tak seperti saat dewasa ini. Aku dan dia tak pernah saling mengungkapkan kasih sayang lagi bahkan bertukar kabar pun jarang. Kurasa dinding gengsi antara aku dan dia melebihi ketinggian gunung everest yang terkenal tertinggi di dunia.
Setelah pertikaian itu selesai kami memutuskan untuk melanjutkan acara nonton kami. Kami tidak mau menyia-nyiakan waktu kami yang berharga ini karena tepat pukul 20.30 kami harus mematikan televisi dan pergi tidur. Kami sudah belajar sejak sore tadi.
Adegan di televisi semakin membuatku bergidik ngeri. Para tokoh utama sedang dikejar-kejar oleh hantu yang menurut anak kecil usia 9 tahun cukup menyeramkan. Kulihat kakakku sedang fokus sekali menatap layar Tv. Seakan- akan ia tak berkedip. Luar biasa anak itu.
Ketika kami sedang asyik- asyik nonton tiba- tiba rumah menjadi gelap.
"IBUUU..."
Teriak kami bersamaan.
Kami langsung berdiri dan menuju kamar ibu."Kak tungguin, gelap nah takut aku." ujarku
"Aish cepat jalannya" titah kakaku.
Kami berlari menuju kamar ibu.ketika berlari aku selalu menarik baju kakak. Aku takut kakak meninggalkanku. Aku selalu berada di belakang kakak. Bahkan kakak hampir tercekik karena kutarik bajunya.
Akhirnya kami sampai di kamar ibu. Ibu sedang pura-pura tidur. Akhirnya kami tahu sifat jahil kami berasal dari mana. Haha
"Ibu , gelap adek takut."
Ujarku menghampiri ibu. Ibu membalasnya dengan memelukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sebuah Lilin
Teen Fictionhukum alam mengatakan jangan hidup seperti lilin . Tapi pada kenyataannya kita memang hidup seperti lilin