Akhirnya kusadari aku tidak sependapat dengan ibu tentang lilin karena ibu hanya bisa berteori tanpa bisa praktek.
Ibu bisa berkata bahwa hidup jangan seperti lilin tapi kenyataannya ibu berprilaku seperti lilin.
Aku hanya bisa menyontoh apa yang dilakukan oleh ibu. Aku percaya ibu adalah lilin.
Aku heran kepada ibu. Apakah menjadi lilin itu salah?
Menurutku tidak. Tak apa bukan bisa bermanfaat bagi orang lain. Perihal luka aku percaya Tuhan mempunyai cerita lain. Bisa jadi dengan luka itu kita menjadi manusia yang lebih tangguh lagi.
Masalah pengorbanan tak apa bukan sesekali kita lakukan? Mungkin dengan kita berkorban untuk orang lain itu adalah konsekuensi budi yang harus kita bayar karena kita pernah ditolong oleh orang lain.
Betapa indahnya kita saling berkorban demi manfaat untuk orang lain.
Tubuh dan pikiran kita ini hebat. Lebih hebat lagi penciptanya yang telah mengatur tubuh dan pikiran kita untuk berkorban sesuai batasannya.
Ketika kita bisa berkorban lebih dari orang lain berarti batasannya kita juga lebih dan derajat kita lebih tinggi.
Aku bukannya pamrih pada Tuhan atas segala pengorbanan yang telah kulakukan. Aku percaya tuhan maha indah dengan segala skenarionya.
Mungkin saja aku tidak tersandung di jalanan pagi tadi adalah balasan Tuhan atas pengorbananku.
Berkorban tidak ada salahnya karena tubuh dan pikiran kita tahu batasannya kapan harus berhenti dan kapan harus berlanjut.
Aku menatap lilin dengan senyuman penuh makna.
Ibu maafkan anakmu ini yang tidak mengikuti nasihat ibu kali ini. Aku tahu ibu berbohong dan aku tidak mau mengikuti ibu.
Ibu izinkan aku menjadi sebuah lilin bagimu dan orang lain. Jangan khawatir, aku tidak akan terluka karena aku percaya Tuhan yang seperti ibu ajarkan padaku dulu.
Aku terkenang....
Hay hay semuanya...ceritanya belum selesai ya..tunggu di part selanjutnya...love you all😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sebuah Lilin
Teen Fictionhukum alam mengatakan jangan hidup seperti lilin . Tapi pada kenyataannya kita memang hidup seperti lilin