Aku terkenang ketika melihat lilin dihadapanku tinggal seperempat dari awalnya.
Aku jadi teringat seorang lilin tua yaitu ibuku. 4 tahun aku sudah tidak balik kampung karena kesibukanku.
Di usia ibu yang semakin senja ia tetap menjadi lilin. Ia membiarkan rindu dalam hatinya terkurung demi melihat aku bersinar dengan karirku. Ibu tak pernah memintaku pulang. Malah ayah yang sebaliknya.
Sekali lagi dalam hidupnya ibu berkorban demi kejayaanku. Ia menggadaikan rindunya demi melihat diriku sukses. Ibu tak pernah muluk-muluk memintaku untuk pulang setiap tahunnya. Ia hanya ingin aku sehat dan menjaga diri.
Malam itu hujan beberapa tahun lalu. Aku sedang demam. Aku menelpon ibu. Ibu sangat khawatir dan ia tidak mematikan teleponnya hingga pagi. Ia hanya ingin disampingku, menemaniku dalam keadaan apapun.
Betapa bersalahnya aku yang tak pernah pulang 4 tahun belakangan ini. Aku terlalu egois mementingkan egoku sendiri dan membiarkan ibu tersakiti.
Aku menangis. Menangis bersalah penuh luka. Menangis karena aku belum menjadi anak yang berbakti. Ibu maafkan aku yang tak tahu diri ini. Maafkan aku
Aku menangis dalam gelap. Lilin itu sudah mati 10 menit yang lalu. Kubiarkan nyamuk berpesta pora menghisap darahku. Pikirku melayang menuju satu bayang, ibu.
Tatapku tak gelap lagi. Kipas mulai menyala mengganggu para nyamuk yang sedang berpesta. Aku menyerngitkan mata tak mampu menahan serbuan cahaya pada mataku.
Kucari telepone genggamku. Kubuka kide rahasianya menuju menu kontak. Mengetik tulisan "IBU". Aku menekan simbol telepon hijau.
" Tut..Tut."
Aku menunggu dengan gelisah. Aku menggigiti kuku jari tanganku. Kulirik jam menunjukkan pukul 2 pagi. Kuhapus air mataku.
"Tut.. Tut... Tut "
Ibu tolong angkat. Aku mulai tak karuan.
"Halo, Ita. Kamu gak apa- apa kan?" tanya ibu panik disebrang sana.
Aku tersenyum sembari meneteskan air mata.
"Halo, Ita. Kamu dimana? Baik-baik aja kan?"
Kubiarkan ibu berbicara. Ibu izinkan Ita mendengarkan suara lembutnya ibu. Menyesapi kasih sayang di setiap perkataan ibu. Merasakan gelisah seorang ibu. Biarkan Ita rasakan bu. Biarkan Ita merekan semuanya. Merekam segalanya tentang ibu.
" Ibu besok Ita pulang."
Kumatikan telepone itu dan kulempar ke atas kasur. Berlari aku mematikan semua lampu dan menuju kasurku. Sembunyi aku di dalam istana selimutku. Dering teleponeku berbunyi terus - menerus. Kubiarkan saja dengan senyuman penuh dengan kebahagiaan
Tunggu aku pulang bu. Anak nakalmu ini akan kembali.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sebuah Lilin
Teen Fictionhukum alam mengatakan jangan hidup seperti lilin . Tapi pada kenyataannya kita memang hidup seperti lilin