Pukul tiga dini hari Jungkook terseok menyeret kaki. Ia berjalan di bawah pekatnya malam, dengan penampilan yang menyedihkan. Air mata mengering di wajahnya. Lebam keunguan nyaris menghiasi sebagian besar kulitnya. Bibirnya berdarah. Meski tak sebanding dengan hatinya yang bernanah.
Genggaman tangannya pada belahan kemeja itu mengerat tiba-tiba. Bukan karena angin malam menghantam tubuhnya. Tapi karena senyum pria-pria itu melintas dalam benaknya.
Langkah kakinya terhenti.
Gores semu yang terbayang dalam mata itu membuat udara serasa mencekik lehernya. Membakar jiwanya. Jungkook mengusap wajahnya, lengannya, dadanya, dan semua bagian tubuh yang dapat dijangkaunya. Sekali, dua kali, hingga ia tak mampu menghitung lagi.
Hatinya menggeram penuh kemarahan.
Marah pada dirinya sendiri.
Ia begitu putus asa. Hingga gemericik air yang memasuki gendang pendengarannya membuat Jungkook tak berpikir dua kali. Tergesa membawa tubuhnya memasuki taman kota.
Jungkook begitu gila. Melemparkan dirinya dalam kolam air mancur meski suhu Seoul mampu membuat ia kehilangan nyawa. Jari-jari tangannya yang kurus dan pucat kembali bekerja. Ia singkap belahan kemeja yang telah kehilangan sebagian besar kancingnya. Bibirnya mendesis jijik. Melihat ruam kemerahan yang memenuhi dadanya. Ia terus menggosoknya. Lagi dan lagi. Tak peduli meski darah menetes karena perbuatannya ini.
Ia putus asa.
Sangat putus asa.
Jungkook menenggelamkan diri, dalam kebingungan, mencari ketenangan saat tawa pria-pria itu berdengung dalam kepala secara berulang-ulang. Dadanya terus menjerit akan rasa sakit. Ia duduk diam dalam kolam. Memejamkan mata. Menunggu rasa sakit itu binasa.
Dalam detik yang berlalu, ketenangan yang tak biasa mengelilinginya.
'Kookie-ya...'
Di balik kelopak mata yang terpejam itu Jungkook mendengar suara yang amat dia kenal.
'Kau sudah berjanji...' riak air seakan berbisik.
Terkesiap, Jungkook menarik diri. Tersengal. Terbatuk berkali-kali. Telapak tangannya menggapai pinggiran kolam. Sedangkan bibirnya mengais udara sebanyak yang ia bisa.
Jungkook nyaris mati. Tapi dia tak merasakan sakit sedikitpun.
Bola matanya bergulir. Menelisik seisi taman kota. Derit ayunan yang bergoyang menyita perhatiannya. Jungkook terus memandangnya. Besi itu berdecit. Mencicit. Seolah-olah seseorang sedang memainkannya.
Jungkook keluar dari kolam. Melangkahkan kaki kala suara-suara itu seakan menjerat diri.
"Kau senang hyung? kau seharusnya membiarkanku mati tadi," gumamnya seorang diri. "jangan tiba-tiba bicara padaku dan mengingatkanku pada janji itu. Aku..." ia kembali terisak. Mendudukkan diri pada ayunan tua yang sebagian telah terkelupas catnya. "Aku rasanya mau mati saja, hyung..." Jungkook kembali tersedu, dalam rangkulan malam yang kian membeku.
***
Tuhan seolah tak puas memberikannya ujian. Siang itu, Jungkook kembali dihempaskan dalam titik terendah. Apa yang bibinya katakan membuat Jungkook terdiam. Genggaman Handphone dalam tangannya mengerat seketika. Pandangannya kosong. Jungkook bahkan lupa bagaimana cara ia bernapas. Tak butuh waktu lama hingga tubuhnya gemetar tanpa sadar. Seolah tak memiliki daya. Jatuh begitu saja membentur dinginnya lantai yang dipijaknya.
Pria paruh baya yang menjabat sebagai orang nomor satu di sekolah itu bergegas menghampiri Jungkook. Mengabaikan telepon pintar miliknya yang Jungkook jatuhkan begitu saja. Ia guncang tubuh salah satu siswa favoritnya itu pelan, tak hanya sekali, saat Jungkook tak memberikan respon berarti. Pemuda itu seolah kehilangan jiwa dalam raganya.