Part 3

6.7K 839 23
                                    



Langit gelap gulita. Sesekali kilat keemasan tergores di angkasa. Hari telah berganti. Tapi mendung masih terus membayangi. Ini bukan malam yang sama. Meski hujan lagi-lagi menghujam semesta.

Di antara lalu-lalang orang, Jungkook berjalan dalam diam. Mengamati tiap-tiap langkah yang ia lakukan. Tubuhnya sempoyongan. Namun ia bersikeras untuk bertahan. Air hujan menetes dari tubuhnya yang tanpa pertahanan. Mengalir pelan, melewati tiap jengkal kulitnya yang membiru beku.

Napasnya terasa berat. Putus-putus. Bukan karena kekerasan yang Jungkook terima di hari sebelumnya, melainkan matanya yang tengah berduka. Tangisnya tak lagi bersuara. Tapi bulir-bulir bening itu tak juga hilang dalam pandangan.

Langkah kaki Jungkook terhenti, saat mata itu menangkap salah satu bangunan megah di seberang jalan yang berjejer rapi

.

.

.

Derap langkah itu membentur ubin gereja. Menggema. Hingga kesunyian sirna seketika. Sosok yang duduk seorang diri diantara jajaran bangku kosong itu menoleh. Mendapati siluet Jungkook menjatuhkan kedua lututnya di depan sana.

"Kenapa kau mengambilnya dariku?" satu kalimat meluncur dari bibirnya. Jungkook menengadah. Menatap langit-langit bangunan yang terukir indah.

"Kau bisa melakukan apa saja!" Jungkook mengepalkan tangan menahan geram. Matanya memicing tajam penuh kemarahan. "Membuat mereka membenciku, memukuliku, membuangku karena dosa-dosa yang ku lakukan. Akan aku terima jika aku harus keluar dari kehidupan mereka. TAPI KENAPA KAU MEMBUAT MEREKA MENGHILANG SELAMANYA DARI HIDUPKU?!!" teriaknya putus asa. Punggungnya bergetar. Bahunya naik-turun menahan napasnya yang tersengal.

"Aku kehilangan segalanya," lirihnya putus asa. Ia membawa telapak tangan itu menutupi wajahnya.

"Hidupku hancur. Dan kini aku benar-benar sendirian. Kenapa kau membuat mereka menebus dosa yang kulakukan? Itu salahku... salahku... kenapa kau..." Jungkook tersedu. Tangisnya serasa menyayat kalbu.

"Aku tidak sanggup lagi... tidak lagi..." Jungkook menggelengkan kepala. Meremas kepalanya yang berdenyut tak terkira. Ia bahkan membenturkan dahi pada ubin gereja. Tersedu, dalam udara yang turut membeku.

Dan dibelakang sana, sosok tinggi itu duduk diam seolah tak mengenali. Ia sendiri tak mengerti. Melihat pemuda itu begitu berantakan membuat hatinya serasa diremas erat-erat. Ia mengakui, isak tangis Jungkook terasa menyayat nadi, bahkan untuk bajingan sepertinya yang tak memiliki hati.

Jungkook tiba-tiba berdiri. Mengusap kasar wajahnya sebelum berbalik pada pintu utama gereja. Ia mengambil langkah panjang. Sol sepatunya bergema. Melesat cepat melewati deretan kursi yang nyaris tak terisi.

Sosok itu tahu, Jungkook tak menyadari keberadaannya yang diam membisu.

Menghela napas diam-diam. Menatap telapak tangannya dengan pikiran gamang. Ia menoleh, memandangi pintu gereja, dan tak lagi mendapati keberadaan Jungkook di sekitarnya.

Sial, batinnya kesal.

Ia berdiri, tergesa membawa kedua kaki panjangnya berlari, mengejar Jungkook yang tak tampak lagi.

"A-astaga!" pekikan kecil itu membuat matanya membola.

Dengan satu tangan mencengkeram pintu bercat cokelat tua itu, ia berusaha sekuat tenaga menahan laju tubuhnya. Sosok yang berdiri di hadapannya mengelus dada. Terkejut akan kemunculannya yang tiba-tiba.

"Namjoon ah, kau mengagetkanku," protesnya pada sosok tinggi itu.

Namjoon menghela napas. "Maafkan aku, Seokjin," balasnya singkat. Matanya berkeliling. Mencari keberadaan Jungkook di balik punggung Seokjin.

Menyadari gelagat pemuda rupawan itu membuat Seokjin turut mengedarkan pandangan. "Kau mencari seseorang?"

Namjoon mengangguk dalam diam. Perhatiannya beralih pada pemuda cantik dihadapannya. Melihat Seokjin menoleh kesana-kemari membuat Namjoon tertegun memandanginya. Belum lama ini ia mengenalnya, tapi lagi-lagi Namjoon jatuh dalam pesonanya. Seokjin begitu menawan, tak hanya parasnya, hatinya pun sama indahnya. Keduanya dipertemukan secara tiba-tiba, dalam keadaan tak biasa layaknya drama.

"Sayang sekali, aku tidak melihat seorangpun. Mau ku bantu mencarinya?"

Lagi-lagi Seokjin menawarkan bantuan. Hingga hari ini, tak terhitung lagi seberapa banyak Seokjin mengajari Namjoon arti kehidupan. Sejak mengenal pemuda cantik itu Namjoon menyadari, bahwa apa yang ia jalani selama ini hanyalah kebohongan. Pelan-pelan, Seokjin menuntunya kembali. Pemuda itu bahkan membantunya untuk mengenal Tuhan, hingga Namjoon terpaksa mencari alasan, sedikit demi sedikit menolak ajakan main yang Taehyung berikan.

"Joon... Namjoon ah!" Seokjin melambaikan tangan tepat di depan wajahnya.

"Ah! Kau mengatakan sesuatu?"

"Bagaimana kalau kita cari temanmu itu?"

Namjoon menggeleng, "Tidak perlu, aku akan menemuinya di sekolah besok."

"Begitu," Seokjin mengangguk. Ia menyimpan payungnya dan mulai memasuki pintu gereja. "Ayo masuk. Kau harus kembali sebelum jam malam asramamu kan."

Sebelum mengikuti Seokjin, Namjoon sekali lagi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Menghela napas, Namjoon berjanji di sekolah besok dia akan menemui Jungkook.

Yang tidak Namjoon tahu, itu adalah terakhir kali dia bertemu dengannya. Jungkook tidak pernah kembali, baik kemarin, atau esok hari.

.
.
.

TBC.

Segini saja. Chap depan flashback dari sudut pandang Taehyung. Sengaja dipotong biar nanti aku ga pake italic. Yang baca pasti pusing kalo ngebaca italic segitu panjang. Haha...

See ya

Until The EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang