1. Jerat

10.2K 331 12
                                    

"Abang"

"Tolongin Echa."

"Mereka jahat. "

"Mereka gak suka sama Echa. "

"Mereka mau jahatin Echa."

"Buat apa Echa cantik kalau Echa gak punya teman?!"

"ECHA CUMA MAU PUNYA TEMAN !!"

Echa berteriak histeris di sudut kamar mandi. Matanya merah dan bengkak. Gue gak bisa membayangkan sudah berapa lama dia terkurung disini.

Tubuhnya menggigil, tapi menolak untuk disentuh siapapun. Bahkan oleh gue sendiri. Gue cuma bisa menatapnya, menderita sendirian.

Anehnya gue gak bisa menangis. Gue juga gak bisa menjerit. Tatapan gue kosong, seolah ada bayangan hitam yang hendak menyeret gue ke sudut tergelap didalam diri gue. Rasanya... gue bisa bunuh siapapun saat ini juga.

"Abang"

Dia kembali terisak sambil menyebut nama gue. Membuat kesadaran gue tertarik kembali. Kaki gue bergerak mendekati dia, tetapi dia bergerak mundur sambil memeluk tubuhnya seolah takut gue juga akan menyakitinya. Gue juga bisa melihat bibirnya bergerak tak beraturan tapi anehnya tak ada satupun suara yang keluar.

"Echa, ini abang" suara gue melembut. Berharap dia bisa mengenalinya.

"Abang" sudut bibir gue terangkat ketika dia mengangkat kepalanya dan menatap gue.

" iya sayang, ini abang." Air mata kini mengalir dari sudut matanya. Gue bisa menangkap raut kelegaan ketika dia melihat gue yang sedang tersenyum menatapnya seolah mengatakan semuanya akan baik-baik aja.

Tangan gue terulur, merapikan rambutnya yang berantakan. Tangan gue berhenti ketika menyadari ada yang aneh. Rambut Echa panjang tak beraturan, seperti baru saja dipotong.

Sialan!! Siapa orang bangsat yang setega ini sama adik gue?

"Echa mau mati aja, abang" gue tersentak mendengar ucapannya.

" gak! Echa gak boleh mati" gue memeluknya dan dia hanya terisak didalam dekapan gue.

" abang sayang sama Echa. Ayah, ibu juga sayang sama Echa. Echa gak boleh ngomong kayak gitu." Gue melepaskan pelukan. Senyum gue menghilang ketika gue menyadari gue gak bisa menemukan Echa dalam dekapan gue.

Dia hilang. Seperti debu teriup angin. Gue berteriak kesetanan berharap dia mendengarnya dan kembali kedalam pelukan gue.

"Echa"

"Echaaaa"

Gue terbangun dengan napas tersengal-sengal. Meraih segelas air diatas nakas yang tak jauh dari tempat tidur.

Tak perduli sebanyak apapun air yang sudah membasahi kerongkongan, gue tetap merasa gemetar. Bayangan wajah Echa yang menangis kesakitan terpantul di gelas yang sedang gue pegang, membuat jantung gue terasa sesak. Gue bisa merasakan rasa sakitnya, tubuh gue gemetar parah.

Pyarrr

Pecahan gelas kini tersebar dilantai kamar. Entah sudah berapa gelas yang sudah gue hancurkan di setiap malam.Walau bertahun-tahun sudah terlewat tapi mimpi buruk itu selalu datang. Menghantui gue disetiap malam. Gue bener-bener merasa jadi kakak yang gak berguna. Harusnya gue mati aja.

Iya... Seharusnya gue mati aja.

Manusia yang gak berguna memang harusnya mati.

Setan didalam diri gue mulai berbisik, mencoba menyeret gue kedalam dasar neraka. Saat ini pecahan gelas yang berserakan dilantai menjadi godaan yang sungguh sulit untuk diabaikan.

Batin gue mulai bertanya. Bagaimana rasanya ketika benda tajam itu menyayat kulit gue? Apakah rasanya akan sakit? Atau malah nikmat?

Tanpa sadar gue menjilat bibir gue yang kering. Gue benar-benar harus mencobanya. Seolah tahu apa yang diinginkan tuannya, kaki gue melangkah mendekati pecahan gelas yang panjang dan tajam.

Bibir gue menyeringai ketika gue merasakan sensasi nyeri diantara telapak tangan karena terlalu erat menggenggam pecahan gelas. Darah yang semakin deras merembes dari kepalan tangan membuat sensasi nikmat yang susah buat gue jelaskan.

Setan dalam kepala gue semakin giat berbisik ketika pecahan gelas sudah berada tepat diatas nadi gue. Gue hanya perlu menariknya untuk membuat sebuah sayatan yang dalam.

" Abang" seperti ada cahaya putih yang menarik gue dalam kegelapan ketika gue mendengar suara itu. Gue selalu heran, betapa hebatnya suara itu sehingga bisa mengalahkan sisi tergelap dalam diri gue.

" Abang, Echa gak bisa tidur" suaranya lembut membuat gue mengalihkan pandangan. Gue bisa merasakan tangannya yang bergetar ketika menarik pecahan gelas dari tangan gue.

" Echa gak bisa tidur, abang" sekali lagi suaranya merajuk, membuat gue terhipnotis dan mengikuti langkahnya kearah kasur.

"Kenapa gak bisa tidur, sayang?" tubuhnya menegang. Oops gue lupa, harusnya gue gak manggil dia dengan sebutan itu. Sekarang dia pasti menyadari kalau gue sedang dalam titik tergelap.

" kenapa Echa gak bisa tidur?" gue mengulang pertanyaan dengan kalimat yang sama tanpa kata itu. Gue cuma ingin dia merasa tidak takut dengan sisi gue yang lain.

Dia tidak menjawab dan sibuk dengan kapas dan alkohol ditangannya. Gue bahkan gak sadar dari mana dia mendapatkan semua benda itu.

Mata gue turun kebawah, mengamati kedua kakinya. Memastikan tidak ada noda darah disana. Gue mendesah lega karena melihat sepasang sendal kelinci terpasang dikedua kakinya. Sebuah sendal yang gue hadiahkan karena malam itu dia masuk kedalam kamar gue, disaat mimpi itu datang tanpa izin dari gue. Dia terlalu panik saat melihat darah yang merembes dari urat nadi gue sehingga kakinya menginjak pecahan gelas yang berserakan dilantai.

Wajahnya selalu membawa kedamaian didalam diri gue. Beberapa helai rambut menutupi wajahnya membuat tangan gue gatal untuk menyelipkan rambut itu kebelakang telinganya. Sekarang dia benar-benar kelihatan manis. Perempuan tercantik bagi gue, yang lain cuma sampah. Gue tersenyum membayangkan hal buruk yang sudah gue lakukan ke semua orang yang sudah bikin dia menderita.

" ayo tidur abang" Echa sudah berbaring di ranjang. Menepuk ruang kosong disebelah sisinya. Gue berusaha untuk tidak tersenyum.

" abang, Echa ngantuk. Ayo tidur." dia menarik tangan gue untuk tidur disebelahnya. Dalam hati gue bersorak karena hanya disaat seperti ini dia menjadi gadis manis dan penyayang.

" Abang " Tubuh gue menengang karena pelukan dari Echa. Bukan. Jangan berpikiran tentang hasrat liar karena situasi seperti ini. Gue mencintai adik gue. Cinta setengah mati malah, tapi dengan cara yang berbeda dari orang lain. Gue hanya tidak suka dia disentuh oleh orang lain tanpa seizin dari gue.

" Maafin Echa abang" suaranya serak. Gue tahu betul betapa dia berusaha untuk tidak terisak. Tapi basah di dada gua dan tubuhnya yang gemetar tidak bisa berbohong kalau dia sedang menangis.

Ya, dia sedang menangis untuk gue. Oh betapa manisnya.

Padahal belum satu hari dia mengatakan tidak akan peduli lagi sama gue. Dia berteriak kesetanan karena gue membuang kucing kesayangannya di pinggir jalan.

Now see. Gue tahu betapa dia sayang sama gue. Dia gak bakal mengabaikan gue, apapun keadaanya.

Dan cara ini selalu berhasil.

Gue tersenyum sambil memeluk dia. Memberikan kecupan selamat malam dan menyanyikan lagu pengantar tidur untuknya.

" Selamat tidur dedekku sayang"

Don't Touch Her ! She is My SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang