5. Amarah

5.4K 184 28
                                    

"Echa!!" Echa berlari sesampainya kami di rumah. Dia bahkan sama sekali tidak menghiraukan teriakan gue yang menggema didalam rumah.

"Echa, Abang bilang berhenti!" Ucap gue penuh intimidasi. Echa berbalik, melepaskan tangannya dari handle pintu kamarnya.

"Abang mau ngomong apa sih? Echa udah capek banget nih! Mau bobo." Ucapnya merajuk sambil menghentakkan kakinya kelantai.

"Siapa Leon?" sebuah pertanyaan yang mewakili semua uneg-uneg didalam hati gue sepanjang perjalanan pulang. Gue berharap Echa memberikan jawaban yang membuat hati gue lega.

Echa memutar bola matanya. Sebuah kebiasaan yang gue benci setengah mati. "Dia temen sekelas Echa." Jawabnya enteng.

"Abang gak percaya. Dia pasti pacar kamu kan?" Mata Echa melotot seolah tidak terima dengan apa yang barusan gue ucapkan.

"Abang ngomong apa sih?! Leon itu cuma temen sekelas Echa. Gak lebih. Jadi abang jangan ngawur!" suaranya meninggi.

"Oh. Kamu udah berani ngebentak abang gara-gara cowok itu?!" gue balas membentak.

"Abang jangan kekanakan. Echa lagi capek dan males berantem. Terserah apa yang abang pikirin. Echa gak peduli." Ucapnya tegas dengan penekanan ucapan di akhir kalimat.

"Ganesha, Abang belum selesai ngomong!"  Gue berteriak ketika dia memutar handle pintu dan masuk kedalam kamar. Mengabaikan ucapan gue seperti angin lalu.

"Apa yang mau diomongin lagi bang? Apapun yang Echa bilang abang gak akan percaya kan?" Ucapnya malas. Dia duduk diatas ranjang melepaskan sepatunya.

"Siapa Leon?" pertanyaan yang sama karena gue belum puas dengan jawaban yang dia berikan.

Echa berdecak. Membanting sepatunya ke pojok ruangan. Sikapnya ini membuat gue semakin yakin kalau dia ada hubungan dengan cowok itu.

Echa berdiri, mengangkat dagunya. Mencoba untuk menantang.
"Jawaban apa yang mau abang dengar?"

"Sejujurnya" mata kami saling menatap dalam kemarahan.

Echa tersenyum sinis. Matanya masih menatap lurus kedalam mata gue. "Echa udah jawab jujur tapi abang gak percaya. Bisa gak sekali aja abang itu gak meragukan Echa. Bisa gak abang itu percaya sama Echa?" suaranya terdengar frustasi.

"Jangan mengalihkan topik Ganesha!cowok itu pacar kamu kan?" Oh jangan pasang tampang sedih seperti itu. Gue sama sekali gak akan terkecoh.

"Leon emang pacar Echa. Abang puas?" Suaranya bergetar. "Abang udah dapat jawaban yang abang inginkan bukan. Sekarang pergi dari kamar Echa." Tangannya menunjuk arah pintu. Menyuruh gue pergi meninggalkan kamarnya.

"Putusin dia." ucap gue tenang penuh intimidasi. Menolak mendengarkan segala bentuk pemberontakannya.

"Gak" jawabnya. Mengabaikan perintah yang gue berikan.

"Kamu pasti mutusin dia." Sudut bibir gue tertarik ke atas membentuk seringai.

"Cukup abang! Echa udah muak abang ikut campur sama urusan Echa. Abang gak punya hak menentukan siapapun yang boleh jadi pacar Echa." nafasnya memburu dengan kilat amarah yang menari-nari di kedua bola matanya.

"Muak?" gue terkekeh. Sebuah kata yang menghantam telak ke dalam ulu hati. "Besok kamu harus mutusin dia. Abang gak mau tahu." Gue berbalik. Enggan melanjutkan pertengkaran dengan Echa.

"Kalau Echa gak nurut, abang bisa apa?" jawabnya menantang. Gue melirik Echa. Memperhatikan wajahnya yang sudah memerah dan bahunya yang naik turun.

Mau apa katanya? Mungkin Echa lupa kalau gue bisa melakukan apapun. Sebagai kakak yang baik, gue harus mengingatkan dia kalau abangnya itu gila.

Gue tersenyum, ingin menunjukkan sebuah tontonan yang pasti bisa membuat dia mengubah keputusannya. Gue berjalan menuju vas bunga yang terletak di sudut kamar.

Don't Touch Her ! She is My SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang