6. Kecewa

6K 241 40
                                    

"Aku tidak akan tertekan kalau kau tidak memperkosaku berkali-kali."

"Kau bahkan menculikku dan menikahiku dengan paksa."

"Aku menerimamu karena Erlang. Jika bukan karena dia ada didalam kandunganku. Aku lebih baik mati dari pada harus hidup dengan pemerkosa sepertimu!"

********
"ARGHHHHH!!" Gue berteriak, membanting dan menjambak rambut seperti orang kesetanan. Mengutuk dan meratapi nasib buruk yang harus gue jalani.

Kamar gue benar-benar kayak kapal pecah. Semua barang hancur dan berserakan. Tapi amarah didalam dada ini belum juga surut, semakin bangkit dan menggelagak ingin dipuaskan.Jika tidak mengingat tangan gue yang sudah mengeluarkan darah. Rasanya gue ingin membakar habis semuanya.

Gue terduduk di lantai, menyandarkan punggung disamping tempat tidur. Menatap langit-langit kamar yang terlihat suram, sesuram perasaan gue saat ini. Kenyataan itu seolah menampar gue dengan telak. Mungkin ini adalah hukuman karena gue terlalu congkak.

Gue bukanlah anak yang diharapkan. Gue lahir karena paksaan, dipertahankan dalam keputusasaan, dan dibesarkan sebagai alat penindasan. Gue hanya bisa tersenyum miris meratapi nasib gue saat ini.

Semuanya sungguh menggelikan.

Hidup gue yang sempurna hancur dalam sekejap mata.

Gue ingin menangis seperti yang sering Echa lakukan. Bukannya gue juga manusia, tapi kenapa rasanya susah untuk mengeluarkan cairan bening yang sering disebut dengan air mata. Gue bahkan sudah memukuli dada gue berkali-kali karena rasa sesak yang kian mencekik.

Gue pernah babak belur dihajar preman, pernah hampir mati karena tabrakan liar. Tapi gue gak pernah mengeluh apalagi menangis. Tak ada darah, tak ada tulang yang retak, tapi kenapa rasanya bisa sesakit ini?

Tok tok tok

Bunyi ketukan pintu menyadarkan gue dari lamunan. Punggung gue berdiri tegak, mengantisipasi siapa tamu tak diundang yang datang disaat yang tidak tepat.

"Ini ayah" Tubuh gue membeku mendengar suara berat itu. Orang yang paling tidak ingin gue temui saat ini. Gue tetap diam, enggan untuk menjawab panggilannya.

Ceklek.

Shit!! Buat apa dia mengetuk pintu, kalau pada akhirnya dia tetap masuk tanpa izin.

"Kenapa ayah kesini?" tanya gue sinis. Matanya menyapu ketiap sudut kamar, mengabaikan pertanyaan yang gue lontarkan. Bagus, setelah masuk tanpa izin sekarang dia mengabaikan gue.

"Kalau ayah tidak punya urusan dengan Erlang, mending ayah keluar dari kamar Erlang sekarang!" Ucap gue ketus. Abaikan kesopanan, bukannya dia juga melakukan hal yang sama. Jadi tidak ada salahnya gue membalasnya.

Sekali lagi dia diam, mengacuhkan Segala pertanyaan yang gue lontarkan. Hanya terdengar bunyi langkah kaki ketika dia melangkah menuju ke sudut ruangan.

Bunyi kursi berdecit membuat gue menoleh. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mengangkat kaki kanannya diatas kaki kiri. Persis seperti seorang  raja yang ingin mengadili bawahannya yang sudah melakukan kejahatan.

"Sepertinya kamu sudah mendengar semuanya" Ucapnya memulai pembicaraan.Gue tetap diam, menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.

"Lupakan apa yang kamu dengar." Mata gue membulat, terlalu terkejut dengan apa yang di katakan. Oh bukan! Lebih tepatnya dengan apa yang dia perintahkan.

Melupakan katanya?! Gue tersenyum sinis. Andai saja gue punya kemampuan itu, pasti dengan senang hati sudah gue lakukan tanpa dia harus memintanya."Aku tidak punya kemampuan untuk melupakan apa yang sudah aku dengar. Dari pada menyuruhku melupakannya, bukankah ayah punya kewajiban untuk menjelaskannya." suara gue menggeram

Don't Touch Her ! She is My SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang