Prolog : Papa

263 25 6
                                    

Seluruh penduduk sekolah tahu—,




Bahwa Park Jimin adalah anak yang manis dan ramah. Ia hobi menebar senyumㅡah, senyumnya manis sekali, matanya saja sampai hilang! Menggemaskan! Ia baik hati, dan terlihat sangat baik-baik saja dengan segala kelebihan yang ada dalam dirinya. Tidak akan aneh jika murid lain mengungkapkan kekaguman dengan tersipu-sipu. Ibarat bongkahan berlian, Jimin itu terlihat sangat sempurna tanpa ada celah.


tanpa ada yang tahu, sisi rapuh anak itu, yang sewaktu-waktu, mudah sekali untuk hancur.



Sebuah pepatah pernah berkata, "Jangan lihat buku dari sampulnya." Menurutku, itu sangat bagus jika seluruh manusia berhasil mempraktikannya.  Tapi, munafik sekali rasanya kalau kita tidak menilai sesuatu dari fisik, latar belakang, dan segala tetek bengeknya 'kan?

Omong kosong.

Siapa yang berani berkata demikian, hm? Katakan padanya untuk tidak terlalu banyak mengumbar omong kosong.



Di dunia yang kejam ini, kau tahu, omong kosong hanya berguna sebagai kesenangan semu belaka. Setelah itu, kau akan mendapatkan kesengsaraan atas omong kosongmu.




•••

"Ah, Jimin," Taehyung menyapa. "Kenapa belum pulang?"

Bukannya kenapa-kenapa.

Langit sudah berubah warna menjadi oranye dan matahari sudah berada di bagian barat, menurutmu sekolah mana yang membiarkan muridnya pulang sore seperti ini?

Yang lain sudah pulang, yang tersisa hanya beberapa murid termasuk dirinya sendiri dan Taehyung. Memang, Jimin belum berkemas sama sekali. Buku-bukunya saja masih belum disusun. Ia malah memandang langit luar kelasnya dengan sendu, tapi Taehyung tidak bertanya apa-apa.


Mungkin tatapannya memang begitu, pikirnya.

Ew.



"Ah, aku cuma mempraktikkan kalimat mu tempo lalu, hehe," katanya sambil memasang cengiran polos. "Kita harus menganggap sekolah itu rumah sendiri supaya tidak terlalu suntuk,"

Yang lebih muda mengerjap,

"...Kapan aku bilang begitu?"

Jimin berdecak, "Dua hari yang lalu, kau mengajakku bolos dan aku menceramahimu tentang peraturan sekolah,"

Oh.

Taehyung memutar kedua bola matanya, "Ya sudah, lupakan! Sekarang ayo pulang! Disini rawan kejahatan tahu!"

Jimin tidak ingin pulang, namun mendengar omongan Taehyung, ia merinding. Benar, daerah sekolahnya itu rawan kejahatan yang mempertaruhkan nyawa sendiri. Seperti—Indonesia mengenalnya dengan sebutan begal, kalau di Korea sana, namanya apa, ya?


Kang Be Gal.

Sejenis itulah.

"Ya sudah, tunggu dulu," kata Jimin. "Aku bersihkan semuanya, setelah itu pulang bersama!"

Taehyung mengangguk.

•••

Jimin sangat amat menyadari keadaan yang ia alami sekarang; tak ada ketenangan, tak ada tidur siang yang nyenyak, tak ada kebahagiaan.

Yang terdengar hanyalah suara bentakan yang saling beradu. Teriakan penuh emosi memenuhi suasana rumah. Dalam kepalanya, yang menyimpan otak yang jenius itu, selalu saja terngiang-ngiang suara yang menyakitkan.


"Jimin!"

Langkahnya berhenti menapaki anak tangga tatkala suara sang ayah memanggil. Ia berbalik, menghadap Ayah yang ada dibelakangnya.

Tatapannya berubah sendu dan sedikit diliputi ketakutan.

Jangan ikut sertakan aku dalam masalah kalian.

"Iya, ayah?"

"Dari mana kau sampai pulang jam segini?"

Belum sempat Jimin menjawab, sang Ayah sudah lebih dulu memotong, "Mulai besok kau harus pulang lebih awal! Nilaimu hancur semua, apa yang bisa kau banggakan pada semua orang?! Aku tak akan segan-segan mengurus surat pindahmu dan kau harus belajar dirumah seharian penuh!"

Yup.

Tanpa rem.

Langsung di semprot habis-habisan dan sangat tidak menggubris kebutuhan anaknya sendiri.

Memang selalu begitu.



Jimin itu..  bagai sebuah boneka yang harus mengikuti kemauan orangtuanya.

Tanpa kebebasan.

Dan tanpa kebahagiaan, mungkin?

Mau bagaimana?

Jimin itu hanya sendirian! Dia tak punya siapapun untuk mengadu! Terlalu sulit mempercayai oranglain untuk mendengar keluh kesahnya!

Sakit hati!

Tapi, mau bagaimana?

Akhirnya, Jimin memilih untuk mengalah. Ia mengangguk dan mengucapkan maaf dengan lemah, yang semoga saja didengar oleh Ayah. Tanpa basa basi sang ayah membalik badan, menjauhi Jimin. Anaknya menghela napas lega, setidaknya, dia tahu meredakan amarah ayahnya yang menggebu-gebu itu.

Tidak peduli dengan suara menyakitkan lagi, Jimin mengunci kamar dan fokus pada kegiatannya sendiri.

Matanya menatap sendu bingkai foto yang menampilkan keluarga bahagia.

Ibu...

Ayah...

Sebenarnya..

Aku ini... apa?






•••

To be continued.







•••

Hallo ~
Wasap!

Kita hanya YMS yang sedang collab.Hayo tebak yang diatas itu tulisan siapa aja? Yang bener dikasih confetti deh hehehe. Yaudah kalau begitu, beri apresiasi yow! Komen yang banyak, mari lestarikan Yoonmin!






Tertanda,
Di, and Kil.

ECCENDENTESIAST • yoonminWhere stories live. Discover now