Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

[1]

52.7K 2.3K 90
                                    

Chapter One

Setelah mencatat seluruh materi pelajaran, aku masukan alat tulis dengan asal-asalan ke dalam ransel. Omong-omong bel sekolah sudah berdering beberapa menit lalu, tinggal aku dan Cindy yang masih dikelas, itu pun mulutnya terus mengoceh tak henti-henti. Katanya aku lamban.

Aku mendengus kesal, berulang kali dia mengucapkan kalimat itu. "Hei! Kecuali kamu mau pulang sendirian."

Mulut Cindy diam seketika. Kemudian cengiran khas kuda langsung menghiasi wajahnya yang tak berdosa. "Memang dasarnya Veneta Putri yang suka marah-marah, aku, kan, hanya bergurau." Cindy melipat kedua tangan di depan dada dan dengan sabarnya menungguku, lagi.

Aku mengedikkan bahu. Padahal aku yakin tadi gadis itu sama sekali tidak mengeluarkan nada gurauan.

Malah tampangnya serius sekali.

"Kau ingat ucapan Fanita saat istirahat tadi? Norak sekali, ya. Mentang-mentang diperbolehkan memakai mesin waktu oleh orang tuanya." Cindy mulai bermonolog, ia berdecak kesal mengingat Fanita yang setiap istirahat selalu menyombongkan diri. Kemudian mata Cindy menghunus layar tulis—yang biasanya disebut orang-orang papan tulis, hanya saja dengan model terbaru—ke depan, sedangkan kaki gadis itu menghentak-hentakkan lantai kelas dengan geram. "Dia pikir, kita tidak punya mesin waktu gitu? Kita punya! Hanya saja tidak diizinkan karena belum cukup umur, salahkan Fanita yang terlalu manja!"

Untungnya Fanita sudah pulang terlebih dahulu tadi. Karena jika belum, sama saja kita mencari masalah dengan kedua orang tua Fanita yang menyelesaikan apapun dengan hukum.

Wajar sajalah, dia anak menteri.

Aku sudah memakai ransel. Biasa kalau tidak terlihat, karena zaman sekarang, banyak yang menggunakan ransel mode transparan atau ransel besar yang bisa ditarik lalu mendadak menjadi kotak kecil dan dimasukkan ke dalam saku. Paham, kan? Aku sih, lebih menyukai ransel transparan. Memangnya aku Cindy, yang pergi ke mana-mana selalu membawa alat dandan juga makanan dan minuman. Dasarnya, sifat gadis itu memang masuk ke kategori manusia paling ribet yang pernah ada. Langka. Dan harus dilestarikan.

Yah, sekiranya seperti itu, jika ingin menggunakan ransel mode transparan barang bawaan memang terbatas.

"Ayo, ah! Sudah mau malam. Kalau kamu tidak diburu-buru, mungkin kita baru sampai rumah besok pagi!"

Sahabat sendiri, jadi wajar. Yang bisa aku lakukan adalah menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan.

Dasar tidak tahu diuntung!

Kemudian kami berjalan beriringan melewati koridor yang sepi. Aku perhatikan, di atas sana langit senja tengah dihiasi oleh gradasi corak jingga dan merah yang membentang. Awan-awan dengan bercak kemerahan juga menjadi pemanis, sampai-sampai aku mengukir senyum walau tipis. Beberapa burung gereja menyanyi sambil beterbangan ke sana kemari, turut menikmati suasana tenang. Namun tak lama setelahnya suara nyaring Cindy justru memecah keheningan.

"Aku punya ide! Menurutmu bagaimana kalau kita menggunakan mesin waktu tanpa izin? Besok siang kedua orang tuaku ke luar kota. Seharusnya aku ikut, tapi karena ulangan tinggal beberapa hari lagi—"

Aku mendesis. "Kau bisa langsung mengatakannya! Tidak perlu menceritakan asal-usul yang sudah jelas."

Cindy terkekeh dan menggaruk kepalanya karena bingung. "Ya ... intinya begitu! Besok kamu main ke rumahku, kita menjelajah waktu bersama."

"Tapi, aku tidak mau."

Cindy tiba-tiba berhenti dan memandangku yang beberapa langkah lebih jauh di depan. Aku yakin wajah Cindy saat ini melongo dengan mata membelalak. Dan setelahnya, dia akan melakukan seribu satu upaya untuk membujukku agar ikut dengannya.

Jadi aku berhenti juga dan berbalik untuk membenarkan dugaan.

"Kau yakin? Ah, ayolah ... kau seperti bukan Vene yang aku kenal. Aku tidak bisa membiarkan Fanita menginjak harga diri kita! Lagi pula, tidak mungkin usia empat belas tahun ini hanya diisi dengan soal-soal buatan komputer. Ini kesempatan emas! Please ...." Dan lihatlah ekspresi Cindy sekarang, gadis itu memohon dengan mata puppy eyes-nya. Berharap aku bisa mengabulkan permintaan bak ibu peri dalam dongeng.

Ah, dugaanku benar rupanya.

Aku diam sejenak. Menyapu pandangan ke sekeliling yang lengang. Setelah memastikan tidak ada robot pembersih kelas atau pun robot asisten lainnya yang berlalu-lalang, aku menyeringai. "Bercanda. Sejujurnya aku mau ikut. Tapi yah, kau tahu, kan. Kalau robot-robot itu menguping, mereka bisa—"

Cindy langsung berlari ke arahku hendak memeluk. Wajahnya berseri-seri. Dan melihat itu aku langsung buru-buru berpaling. Tapi terlambat. Karena saat ini lengan gadis itu sedang mencekik leherku kuat-kuat.

"Iya, aku tahu! Mereka bisa membocorkan rahasia kita. Astaga, Vene! Aku tahu kau sahabat terbaik sepanjang masa!" serunya kegirangan.

"Cin—Cindy! Lepaskan tanganmu dulu! Ka—kau ingin membunuhku sebelum kita berangkat, huh?" ucapku terbata-bata sebab kehabisan napas.

Yah, alasan aku menghindar dari pelukannya adalah karena hal ini. Cindy bisa saja memeluk orang lain sampai kehabisan napas. Catat itu.

Cindy langsung menarik tangannya dengan kikuk sambil terkekeh hambar. "Maaf, deh. Jadi besok ketemu di rumahku jam delapan pagi, ya! Kita pergi pukul sembilan."

"Tapi ingat! Aku ikut berdasarkan kemauanku sendiri, bukan dari kamu yang barusan membujuk," kataku mengingatkannya.

Jujur, aku bicara seperti itu supaya Cindy tak besar kepala. Bagaimana kalau dia mengira bahwa aku berhasil dibujuk olehnya? Bisa-bisa dia selalu menggunakan cara itu nanti. Ah, jangan terlalu dipikirkan. Itu terdengar sangat menyeramkan.

Omong-omong, mesin waktu?

Astaga, tahun ini akan menjadi tahun yang luar biasa.

Seharusnya begitu, kan? []

Rewinds ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang