Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

[4]

17.6K 1.3K 35
                                    

Chapter Four

"Kalian pasti manusia dari Bumi." Gadis berjubah merah itu turun dari tunggangannya lantas memperhatikan kami lamat-lamat. "Benar apa kata peramal. Kini aku baru seratus persen percaya."

Aku mengernyit bingung. Dan tanpa menoleh pun aku tahu persis bagaimana ekspresi Cindy sekarang. Kurang-lebih, ya ... melongo tidak percaya.

"Maaf, tapi kita tidak bisa berlama-lama di sini. Ayo ikut aku! Mereka pasti sudah lama menunggu kalian," katanya dengan nada terburu-buru.

Cindy mengusap tengkuk leher, kebiasaan lamanya bila kebingungan. Sedangkan gadis berjubah merah tadi kembali lagi pada beruang kutub itu. "Apa yang kalian lakukan, huh? Ayo cepat naik!"

Naik ke mana? Beruang itu? Biar aku perjelas ... eh, tidak. Kau pasti lebih tahu. Tidak perlu aku ulangi, kan?

Aku tidak mungkin menunggangi beruang. Apalagi dalam kasus ini beruangnya adalah beruang kutub! Rencana bunuh diri yang konyol. Yah, memang manusia waras mana yang mau menunggangi seekor beruang kutub?

"Tunggu dulu, kita sebenarnya ada di mana?" tanya Cindy.

"Di Wozzart, memang ada di mana lagi?"

Wozz—apa?

Melihat wajah kebingungan kami, Tamara menghela napas berat. "Yah, kalian pikir hanya Bumi yang memiliki kehidupan?" Gadis itu turun lagi dari tunggangan. Mungkin ingin memberi penjelasan panjang kepada kami. Walau (jika diperbolehkan berkata jujur) wajahnya tampak masam. "Di luar dari Bumi, ada banyak planet yang tersebar. Juga galaksi lain yang tentunya memiliki banyak kehidupan. Dunia ini tidak sekecil apa yang kita kira. Selalu ada hal-hal luar biasa, banyak misteri, juga sejarah panjang yang sebenarnya menanti kalian," jelas gadis tanpa nama itu.

Jadi maksudnya, kami jauh dari Bumi begitu?

Aku sama sekali tidak mengerti. Ini jauh dari akal sehat. Yah, maksudku, dulu memang ada ilmuwan yang mengucapkan hal-hal semacamnya di beberapa acara televisi. Tetapi seminggu setelahnya, ilmuwan tersebut dikatakan hilang sampai saat ini. Entahlah ilmuwan itu ditangkap atau pergi. Padahal dia hanya mengusulkan cara mengatasi bila saja Bumi 'rusak' karena rakusnya manusia kian hari. Seperti misalnya, meninggalkan Bumi yang rusak dan mencari planet baru yang tepat untuk kita semua tempati.

Tapi ah, lupakan sajalah, lagi pula itu sudah kejadian beberapa tahun lalu. Buktinya Bumi masih layak kita tinggali, kan?

"Entah kalian yang bodoh atau beberapa manusia Bumi yang menyembunyikan rapat-rapat tentang hal ini."

Sebentar, dia bilang apa? Bodoh?

Cindy sejak tadi masih mengernyit bingung. "Menyembunyikan? Untuk apa? Itu tidak ada gunanya."

Gadis berjubah merah itu menyeringai lebar. Matanya menunjukkan sorot mata sinis. "Kalian tahu? Sejak kecil aku sangat tertarik dengan pembahasan ini. Tapi tentang pertanyaan barusan, aku tidak bisa menjawab. Itu privasi Manusia Bumi. Itu urusan kalian, kan? Bukankah Manusia Bumi memang tidak bekerja dengan transparan?"

"Apa maksudm—"

"Oh, iya! Ada kalimat yang cocok untuk pertanyaanmu. Sebagian orang terus mencari, sedangkan sebagian yang lain berusaha untuk tetap menyembunyikannya. Coba kalian pikir sendiri," potong gadis berjubah itu.

Cindy menatapku penuh tanda tanya, meminta pendapat. Tapi aku cuma mengedikan bahu karena aku sendiri juga masih bingung. "Yah, sebenarnya aku masih tidak mengerti dengan apa yang kau katakan. Tapi mari ganti topik. Jadi ... sebenarnya kau itu siapa?" tanyaku dengan nada hati-hati sekaligus mengalihkan pembicaraan.

"Aku Tamara, penjaga perbatasan. Coba lihat garis horizontal itu!" Jari telunjuk Tamara menunjuk kepada garis putih yang membentang. Perbedaannya hanya: di seberang sana terdapat pantai bukan hutan seperti yang kini kita pijaki. Namun, yang membuatku membelalakkan mata adalah ... mesin waktu milik Cindy berada di sana. Di luar perbatasan itu. "Kalian tidak boleh ke luar dari garis itu tanpa izin. Atau kalian mengajak kami berperang kembali seperti beberapa tahun silam."

Cindy mengerjapkan matanya berkali-kali. "Kau penjaga? Aku kira kau seumuran dengan kami."

Tamara kembali menunggangi beruang kutubnya. "Memang seumuran. Dan sudah cukup untuk semua pertanyaan kalian. Aku yakin mereka benar-benar menung—"

"Apa yang kau lakukan Tamara?" tukas laki-laki yang baru saja datang itu. Kedua tangannya langsung mengacungkan tongkat gelap yang panjang. Aku perhatikan, tubuh laki-laki itu basah kuyup, rambutnya hitam legam juga acak-acakan dan dari ujung rambut hingga ujung kaki semuanya mengenakan setelan hitam. "Jangan berbuat ulah lagi seperti yang sudah-sudah," ingat laki-laki itu.

"Bukan urusanmu Fernan!" Dari pandangan Tamara, aku bisa melihat rasa kebencian yang tersirat dari caranya memandang. "Oh, jangan-jangan kau kemari hanya untuk melihat apakah rumput-rumput kami melewati perbatasan itu? Hidup tenang saja di lautan sana!"

Laki-laki yang dikenal dengan nama Fernan itu berdecak sebal. "Sebagai sesama penjaga seharusnya kita tidak saling berdebat."

Tamara terkesan tidak peduli. "Vene, Cindy! Apa yang kalian lakukan? Ingin tetap di sini atau ikut aku?"

"Tapi mesin wak—eh, tunggu dulu. Bagaimana kau bisa mengetahui nama kami?" seru Cindy terkejut.

"Astaga pertanyaan baru lagi. Baiklah, sebenarnya ... semua kejadian ini sudah ditulis di buku nenek moyang kami. Dia peramal. Dan kalian pasti sudah lupa tadi aku bilang apa. Berhenti bertanya dan cepat ikuti aku!" Amarah Tamara tampak seperti meluap sampai ubun-ubun, pagi tadi ia pasti sarapan dengan makanan yang pedas-pedas. Atau malah, tidak sarapan pagi?

Kemudian mau tak mau kami mengikuti perintah Tamara. Daripada duduk termenung di sini, lebih baik kami ikut dengannya, kan?

Jadi aku mencoba naik ke punggung beruang kutub itu untuk pertama kalinya. Dan langsung berhasil! Sedangkan Cindy ... ah, bulu-bulu lembut ini membuat Cindy kesulitan mencapai puncak. Gadis itu sudah mencoba berulang kali, tapi hasilnya selalu nihil. Nol besar.

Sudah sampai di atas, merosot lagi ke bawah, dan terus mengulangi hal yang sama. Naik lagi, turun lagi, naik lagi, dan turun lagi. Fernan terbahak-bahak dibuatnya. Tidak lihat saja wajah Tamara yang makin merah padam.

Tamara akhirnya turun untuk ketiga kalinya sambil menggerutu, meninggalkanku di atas beruangnya sendirian. Gadis berjubah merah itu berjalan memasuki hutan dan kembali lagi beberapa menit setelahnya. "Gunakan ini!" Dia memberikan daun pisang kepada Cindy. "Kalau kau tidak bisa menungganginya, duduk di atas sini dan pegang bulu-bulunya dari belakang, oke?"

Cindy mengusap tengkuk lehernya sambil mengernyitkan dahi. Sedangkan aku cekikikan. Gadis itu pasti berpikir, seharusnya dia membawa papan terbang kemari dan tidak akan pernah ada cerita seorang Cindy duduk di atas daun pisang sambil ditarik beruang kutub seumur hidupnya.

Bahkan Fernan terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata, memeluk perutnya sendiri yang mulai sakit karena kebanyakan tertawa. "Lebih baik dia naik paus orca milik tetua kami," ucap Fernan mengejek.

Tamara mendengus geram mendengarnya. "Pergi saja sana! Dasar pengganggu." []

Rewinds ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang