Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi

[2]

26.1K 1.6K 44
                                    

Chapter Two

Pukul sepuluh lewat lima belas menit. Keluar dari jadwal berangkat.

Aku masih menunggu Cindy menyiapkan bekal dan barang-barang lainnya di ruang bawah tanah. Sudah kutebak sejak kemarin sore di sekolah, gadis itu pasti bakal kelimpungan. Dan sebagai tambahan, sekarang ia benar-benar bak orang kebakaran jenggot saking antusiasnya ingin menggunakan mesin waktu. Kemarin setelah pulang sekolah, aku sudah menyiapkan barang-barang yang ingin dibawa, jadi tidak heboh seperti Cindy sekarang ini.

Aku duduk di kursi terbang sambil meminum segelas air mineral. Menatap lurus-lurus ke depan, lebih tepatnya menatap mesin waktu itu yang ada di depan sana. Bentuknya bulat seperti bola, warnanya putih dan terbuat dari aluminium, mungkin. Entahlah bagaimana para ilmuwan ternama membuatnya. Yang aku tahu, mesin ini sebagai bukti bahwa globalisasi berkembang dengan pesat.

"Vene! Ayo kita berangkat! Aku sudah siap." Pintu otomatis ruang bawah tanah tertutup kembali kala Cindy sepenuhnya masuk. Gadis itu sudah siap dengan kostum berpetualangnya. Ransel tarik Cindy pasti ada di dalam saku.

Ah, aku penasaran apa saja yang ia bawa kali ini.

Aku meletakkan segelas air dan bangun dari duduk untuk berkacak pinggang, menghunus iris mata Cindy juga tentunya. Karena ... yang benar saja! Di sini aku sudah menunggu hampir dua jam dan dia baru siap sekarang? Astaga, bahkan di meja terbang hanya disediakan air putih olehnya, tidak ada cemilan atau hal-hal serupa di atasnya. Menyebalkan.

Cindy terkekeh serasa tak berdosa. "Ayolah! Kau sama saja membuang waktu kalau marah seperti itu."

Aku memutar bola mata malas, kemudian mengikutinya yang berjalan mendekati mesin aluminium di depanku.

Karena kami tidak pernah melihat bagaimana cara kerjanya, jadi aku dan Cindy mengitari mesin tersebut lebih dulu untuk menyadari bahwa pintunya baru terbuka dengan sidik jari, bukan tombol maupun kenop pintu. Yah, maklum. Ini kali pertama.

Cindy segera menekan ibu jarinya ke alat scan yang mungil tersebut. Dan tak berselang lama kemudian, mulutnya langsung menganga lebar bak gua gelap tempat kelelawar menggantung diri. Iya, pintunya sudah terbuka. Memberi jalan bagi kami untuk masuk ke ruang bulat tersebut. Informasi tambahan: dari luar saja, kami sudah melihat peralatan di dalamnya yang canggih sekali! Keren!

Tiba-tiba seperangkat robot asisten mesin waktu mencuat ke luar. Sukses mengejutkan kami yang masih terpana. "Selamat datang! Berikan ransel kalian padaku dan silakan duduk di tempat yang tersedia," ujar robot tersebut dengan suara yang khas.

"Astaga!"

"Ya ampun! Kenapa robot selalu datang dengan cara yang mengejutkan, sih!" seru Cindy, tubuhnya menjengit mundur.

Seluruh mesin menyala otomatis. Lampu-lampu bersinar terang, layar di dalam hidup dan dua kursi hitam langsung siap. Setelah berhasil menetralisir detak jantung, aku segera menuruti permintaan robot tersebut untuk menyerahkan ransel. Mematikan mode transparan pada ransel dan langsung aku serahkan ke robot itu, Cindy juga melakukan hal yang sama, hanya saja ....

"Kau membawa tiga ransel besar?!" Aku memekik kaget saat Cindy menyerahkan tiga ransel besar yang sudah ditarik—alias sudah mengecil.

Lagi-lagi gadis itu terkekeh hambar, membuatku ingin menyekap mulutnya menggunakan kain elastis. "Aku membawa makanan, minuman, pakaian, pelampung—" Ucapan gadis itu terpotong.

"Apa? Pelampung? PELAMPUNG? Kita tidak ingin ke pantai!" Aku menyela dengan nada emosi. Bayangkan saja, mode mengecil pada ransel besar hanya berlaku selama kurang lebih enam jam, selebihnya kita harus membawa beban berat ke mana-mana. Kalau seperti ini, nanti aku juga yang repot!

"Yah, kita kan ... tidak tahu apa yang akan kita hadapi nanti. Bisa saja kita salah memberi koordinat pada mesin ini dan ternyata, oh tidak! Kita sedang mendatangi kota yang tengah dihadang bencana! Entah tsunami, tanah longsor, gempa bumi. Ya ampun, intinya kita tetap harus waspada! Jangan sampai terbunuh!"

Oh, lihatlah!

Sekarang Cindy mengajariku bagaimana caranya kita bertahan dari bencana alam yang menyerang.

Aku mengusap wajah dengan kasar, "Cindy ... kita ingin mengunjungi masa lalu, lagi pula aku percaya pada mesin ini. Aku dengar, mesin waktu ini akurat sekali. Tidak pernah ada kabar bahwa mesin ini membuat kesalahan walau sedikit."

Cindy duduk dengan angkuh. "Kau tahu, kan? Aku berpendirian teguh! Aku tidak akan termakan oleh ucapanmu itu."

"Yang jelas, kau keras kepala," gumamku lalu berjalan masuk ke dalam dan duduk di kursi penumpang sebelahnya.

Belum berangkat saja kami sudah ribut. Tidak pernah satu suara. Entahlah apa yang akan terjadi nanti, semoga semuanya baik-baik saja dan berjalan sesuai dengan rencana.

Nah, sekarang giliranku memilih waktu yang tepat. Semalam aku sudah melakukan riset. Membaca beberapa artikel tempat-tempat menarik yang bisa kami kunjungi. Tapi, tidak mungkin juga kita pergi ke masa di mana dinosaurus masih hidup, kan? Jangan. Jangan. Itu pilihan buruk.

Bisa-bisa kita menjadi santapan lezatnya nanti.

"Kalian hendak kemana?" tanya mesin itu secara otomatis.

"Kami mau ke—"

Mendadak Cindy membekap mulutku dengan tangannya. "Vene, sebelumnya kau harus pastikan bahwa tujuan kita sedang tidak didatangi bencana!"

Aku berseru tertahan. Lalu Cindy kembali melepas tangannya, memberiku ruang untuk mengumpat sejenak. Kemudian aku mengulang ucapanku pada mesin tadi. "Kami mau ke—" Dan lagi-lagi dipotong oleh gadis yang teramat antusias, tetapi panik di saat yang bersamaan.

"Ucapkan dengan nada lantang, Vene! Bisa-bisa mesin itu salah mendengar dan mengirim kita pada tempat yang keliru."

Mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan kasar. "Kami mau ke waktu Selasa, 15 Juni 2010!" ucapku dengan nada sekeras-kerasnya.

Cindy mengacungkan dua ibu jari, bahkan kalau bisa, dua ibu jari kakinya juga ingin ditunjukkan. "Yah, tidak ada salahnya melihat-lihat barang konvensional di tahun 2010. Kita bisa belajar sejarah."

Aku hanya menggumam kesal.

"Kalian yakin?" tanya mesin itu memastikan.

Astaga! Kenapa aku harus ada di sekeliling orang dan mesin-mesin menyebalkan ini, sih? Membuat emosiku terkuras, sampai akhirnya aku memilih untuk berpikir ulang kembali.

Jadi, bukankah lebih baik kalau aku belajar di rumah karena ulangan semester sebentar lagi? Ya, aku rasa lebih baik seperti itu. Iya, kan? Lebih baik mengejar masa depan yang pasti daripada kembali ke masa lampau.

Namun sayang, tiba-tiba Cindy menjawab tanpa persetujuan dariku.

"Kami yakin!" jawab Cindy lantang dan bersemangat. Beberapa detik kemudian, gadis itu kembali berucap.

Aku langsung menoleh ke arahnya. Astaga, aku belum siap!

"Kau tahu? Aku bahkan sudah menulis pesan terakhir untuk kedua orang tuaku. Yaa ... sekedar jaga-jaga, sih. Siapa tahu aku tidak bisa kembali, kan? Dan bagaimana jika mereka terus mencari-cariku jika aku benar-benar dikatakan hilang? Jadi untuk memudahkan persoalan ke depan, aku menulis pesan terakhir dulu dan meletakkannya di atas nakas mereka di kamar," cerocos Cindy panjang lebar.

Lalu di detik itu aku langsung tersadar, bahwa perjalanan ini bukan main-main. Ini tentang menjelajahi ruang dan waktu. Menjelajah ruang dan waktu berbeda dengan menjelajahi hutan atau samudera. Menjelajah ruang dan waktu, baru kali ini terdengar ... menyeramkan di kepalaku.

Kemudian di saat aku ingin membatalkan perjalanan ini. Mesin waktu langsung menghilang dari ruang bawah tanah.

Bersama, membawa kami menuju waktu yang telah ditentukan.

Astaga, aku terlambat. []

Rewinds ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang