BAB 2

74 16 28
                                    

Instrument Life

KALI ini aku harus makan dengan nasi dan beberapa lauk pauk yang aneh. Indonesia memang hebat, ketika aku memakannya rasanya sungguh enak dan bahkan pelayannya juga sangat ramah. Wizard bahkan sudah menghabiskan tiga piring dengan beberapa sisa makanan masih tercetak jelas di sela-sela mulutnya.

Aku tersenyum melihat tingkahnya, lalu mengambil segelas air putih. Disini memang tidak se-dingin di Las Vegas, tapi cukup untuk diriku agar bisa melepaskan jaket. Aku menatap ke jalanan, ibukota negara ini memang terkenal akan kepadatannya yang luar biasa, beberapa puluh tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2000-2020, jalanan ibukota bahkan tak pernah mengenal kata bebas, semua penuh dan kumuh dengan kendaraan. Untungnya, setelah mengadakan beberapa perundingan pemerintah, mereka akhirnya mau mencari solusi lain dengan menciptakan mobil terbang untuk seluruh penduduk. Setidaknya, sekarang yang padat bukan jalanan, tapi langit. Dan jalanan hanya penuh oleh orang-orang juga angkutan umum.

"Kau akan sekolah di SMA Pancasila Sakti, ini aku berikan denahnya." Wizard kemudian memberikan tabletnya yang sudah terpajang di situ.

"Kenapa aku yang harus bersekolah, sih? Kau kan juga bisa." Aku menatap malas peta itu.

Wizard tampak memelototkan matanya. "Kau ini! Aku mana bisa berbahasa Indonesia, lalu aku tak bisa langsung mematuhi Pimpinan sekaligus menjalankan misi, otakku tidak kuat, Pretty."

"Lalu kenapa harus aku?"

Wizard menepuk dahinya, merasa tidak percaya dengan pertanyaanku barusan. "Kau itu punya kepintaran yang di atas rata-rata dan Pimpinan bahkan sudah meng-upgrade beberapa bahasa dalam otakmu itu. Jadi, kalau Pimpinan memilihmu alias adiknya itu ya pilihan yang tepat."

Aku ber-oh ria sejenak, lalu kembali memakan nasi pecel itu. Aneh jika dipikir, padahal aku sebenarnya adalah penduduk asli Indonesia saat kecil, tapi ketika Pimpinan memilih untuk mengadopsiku dan menjadikanku sebagai adiknya dari panti asuhan, semua pikiran masa laluku telah berubah. Aku lupa semua kenangan di panti asuhan, yang kuingat dan bahkan itu diceritakan oleh Wizard bahwa aku punya kakak kandung perempuan. Aku bahkan tidak ingat betul wajahnya.

"Makanan di Indonesia sangat enak. Aku ingin pesan lagi."

Aku mendengus kuat-kuat mendengar pernyataan Wizard. Satu piring saja aku belum habis, bagaimana bisa dia menghabiskan tiga piring dan masih lapar? Aku menggeleng pelan sambil kembali menghabiskan pecelku.

"Bukan masalah berapa porsi, kau saja yang lamban mengunyah."

Wizard tertawa dengan bebasnya. Aku mendelik tajam ke arah Wizard. Ingin rasanya kusumpal mulutnya itu.

*****

Aku menatap bangunan SMA Pancasila Sakti yang sebentar lagi menjadi sekolahku. Mengingat aku tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah sebelumnya, rasanya agak aneh tiba-tiba harus sekolah. Kulangkahkan kakiku memasuki gedung sekolah.

Tujuan utamaku sekarang adalah pergi ke ruang pertemuan atau ruang yang biasa digunakan untuk rapat. Tidak susah bagiku untuk mencari ruangan itu. Tadi malam aku sudah membaca denahnya sekaligus menghafalkannya. Aku tidak perlu bertanya kepada orang lain.

Tepat di depanku sekarang adalah ruangan yang aku cari. Ruangan dengan pintu besi yang berkilauan ini pasti sangat keren di dalamnya. Sudah terlihat dari alat pendeteksi yang terpasang rapi di sudut atas pintu. Kalau tidak diamati dengan benar, tidak akan yang menyadari alat itu. Bagaimana aku bisa tahu? tentu saja aku sudah terlatih untuk itu.

REBIRTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang