[08.40 P.M]
Bandung, 01 Juni 2041.
20°C.Aku mengusap lengan atasku yang kedinginan. Balutan outer denimku tidak begitu menghangatkan. Perlahan aku melangkahkan kakiku ke dalam.
Lampu-lampu diskotik menyinari seisi ruangan. Penuh sekali dengan konglomerat yang memfoyakan materinya untuk kesenangan duniawi. Tapi siapakah diriku untuk menghakimi ?
Di lain sisi, mereka pun butuh hiburan dari perang mereka dengan kenyataan yang pahit. Hidup di salah satu kota maju se-Indonesia Serikat bukanlah hal yang mudah. Antara tetap bertahan atau hanyut dalam arus nelangsa.
Mataku mengitari seisi ruangan yang. bau anggur ini. Banyak sekali hiasan kaca yang terukir indah di dinding. Membentuk gabungan flora dan fauna. Satu hal yang menarik perhatian pandanganku.
Sebuah pahatan kaca besar di tengah ruangan yang menyerupai peti harta karun. Lampu LED emas yang menyinarinya membuat semua pandangan pasti tertuju ke sana tiap kali pengunjung datang. Ditambah air mancur yang menari-nari dari saluran di sekeliling peti kaca.
Aku mendekati meja bar dan duduk di kursinya. Banyak sekali arak yang disediakan. Mulai dari yang murah hingga yang paling mahal. Aku menatap satu botol sampanye yang menarik perhatianku.
Desain botol kacanya mirip seperti angsa yang besar sekali. Detail ukiran bulu-bulu angsanya sangat indah. Karena desainnya cukup unik jadi aku berasumsi bahwa harga segelasnya akan sangat mahal.
'70% alkohol', oof.... Itu gila.
Seorang bartender yang selesai menjamu pelanggannya menghampiriku dengan ramah. Namanya Ari, kita saling kenal semenjak aku sering kabur dari rumah dan minum disini.
"Hei Ly ! Seperti biasa kan ?" ia tersenyum padaku.
Lantas kepalaku mengangguk pelan dan membalas senyumnya. Sementara ia sedang meracik minumanku, aku teringat akan sesuatu.
"Ari, apa disini masih ada lowongan kerja ?" tanyaku.
Ia menoleh padaku dan terkekeh kecil, "Ya. Pekerjaan apa yang kau mau ?"
Ari menyodorkan gelas wineku di meja. Jari-jari lentikku menggenggam kaki gelas, "Menurutmu apa pekerjaan yang gajinya lumayan besar disini ?"
"Ya... Apalagi ? Penari..." ia terbatuk, "Tiang. Seperti wanita itu disana."
Aku menoleh ke arah telunjuknya yang mengarah ke seorang wanita yang sibuk berputar-putar di tiang dengan pakaian vulgar. Maaf, tapi aku harus bilang kalau wanita itu terlihat bodoh seperti seekor anjing yang berputar berusaha menggigit ekornya sendiri.
"Ah... Yang benar saja... Tidak ada yang lain kah ?" aku meneguk wineku sembari menggerutu.
Ari tertawa kecil, "Ada sih, yang lebih besar. Jauh lebih besar. Ya.... Jadi wanita sewaan untuk karaoke di Treasure."
Aku kaget mendengarnya dan hampir mencekik kerongkonganku sendiri dengan wine, "Bagaimana kalau barista ?"
"Kau yakin ? Gajinya hanya 5 juta dan aku yakin itu hanya cukup untuk biaya makan setengah bulan di luar pajak." Ari mengernyitkan kedua alis tebalnya.
Aku menatap gelasku sejenak. Ya Tuhan, aku tidak ingin menjadi manusia hina di hadapanmu.
"Ngomong-ngomong... Mengapa kau bertanya demikian ?" Ari menatapku dengan penasaran. Ia lalu duduk di hadapanku dan melipat tangannya di bawah dada.
Aku terpaksa senyum kecil padanya, "Siapa lagi ? Kalau bukan karena..."
Jujur, aku tidak ingin menyebut Ibuku sendiri dengan sebutan 'Ibu' karena... Ia sendiri yang membuatku membenci dirinya. Namun di lain sisi, ajaran Sang Pencipta menyuruhku untuk tetap menghormati seorang Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Against the World
General Fiction(PERINGATAN: Novel ini mengandung konten kekerasan dan mengangkat tema sensitif. Pembaca diharap bijak memilah dan jika sekiranya tidak nyaman, mohon jangan dibaca.) Tidak ada cara lagi selain menyuarakan hak kita. Pertumpahan darah bukan lagi cara...