(Kanda's POV)
[08.20 AM]
Bandung, 02 Juni 2041.
23°CGerahamku mengoyak daging apel untuk sarapan pagi. Kutepuk halus pundak Felicia, si junior roommate.
"Duluan ya, gue cabut karaoke di bawah." sahutku dengan ramah.
Felicia menoleh ke arahku, "Kira-kira selesai kerja kapan, kak ?"
Aku berpikir sejenak, "Gak terlalu lama. Sore balik kok."
Felicia tersenyum padaku. Lalu aku menggendong tasku yang isinya hanya 'baju kerja'. Tanganku meraih kartu identitas pegawai yang kuletakkan di meja samping ranjang. Di bawah lampu tidur.
Kedua kakiku mengantar tubuhku dengan percaya diri ke sebuah lift di ujung lorong asrama bernuansa merah pekat ini. Telunjukku menekan tombol 'UG' untuk underground.
"ID." mikrofon kecil di langit-langit lift memberi perintah.
Kutempelkan barcode di kartu pada sebuah sensor yang perlahan membacanya. Sebuah hologram muncul dengan simbol sidik jari. Lantas kutempelkan ibu jariku di atas sensor. Simbol mata kemudian muncul setelahnya. Lalu kudekatkan wajahku pada kamera kecil yang mendeteksi iris mataku.
Okay, kesan hari pertama kerja? Semua prosedur ini lumayan keren tapi di sisi lain terlalu rumit.
"Selamat bekerja, Kanda Anindita." mikrofon itu menyambutku.
Aku memutar kedua bola mataku. Ya, ya, terserah. Sebuah lift kemudian membawaku turun.
*****
Aku beranjak keluar dari lift. Seketika motivasiku menghilang drastis mengingat pekerjaanku disini hanya sebagai wanita sewaan. Aku mulai merasa gugup, semua aura berbeda drastis dibandingkan asrama.
Kulihat pria-pria gemuk dengan botol sampanye mereka berlalu-lalang menuju ruangan karaoke mereka dan meja depan untuk proses booking. Tidak kusangka ternyata karaoke penuh siang dan malam.
Aku segera pergi ke ruang ganti untuk mengganti pakaianku dengan longdres bernuansa biru dan kerlipan. Kutatap papan hologram informasi dan mencari-cari namaku dan pelanggan mana yang harus aku layani.
Mataku tertuju pada urutan terakhir. Ah... Ruang VIP 4 dan empat WNA asal Jepang. Dengan segera aku berjalan menuju ruang 4 yang terletak di ujung koridor. Selintas perasaan tidak enak mulai menyelimutiku.
Akan tetapi... Apa boleh buat juga? Kuteguk ludahku. Kegelisahan menyelimutiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Jemariku menempelkan ID Card ke atas sensor yang mengunci pintu ruang karaoke.
Perlahan pintu itu bergeser secara otomatis. Aku memasukki ruangan dengan aroma alkohol yang menyeruak. Asap cerutu berkeliaran menyebar ke setiap sudut ruangan. Aku menghampiri pria-pria yang masih asyik minum-minum.
Mereka menyapaku dengan cukup ramah dengan bahasa mereka yang rumit dipahami. Lengan seorang pria menarikku halus untuk mempersilakanku duduk di antara mereka. Pria yang lain meraih mikrofonnya dan mulai menggeser tangannya ke arah sensor monitor untuk memilih lagu yang ia sukai. Kami pun bernyanyi riang bersama tanpa mengenal waktu.
*****
Aku menoleh ke setiap pria, mereka nampak sangat mabuk serta mengeluarkan kata-kata yang tidak bisa kumengerti. Lengan pria ーyang raut wajahnya lebih tua dibandingkan yang lainー itu merangkul pundakku.
Seketika bulu kudukku merinding saat pria yang lain menyentuh lututku. Pikiranku mulai kacau saat pria itu mencengkeram salah satu pundakku, "Apa yang akan kalian lakukan !?" tanyaku yang sangat terkejut.
Kini mereka mengepungku sementara aku bergeser pelan hinca terjatuh ke lantai. Dua pria menahan lenganku ke belakang. Pria yang lain merekamku dan menggenggam alat yang aneh serta gunting. Entah itu apa.
Sebelum pria itu berhasil merobek rokku seutuhnya, aku memberontak dan menendang wajahnya. Lalu meninju sekuat mungkin dagu pria yang menahanku. Pria yang memegang kamera itu melemparkan botol-botol kaca dengan keras ke arah kakiku selagi aku berusaha untuk berlari. Sialnya beberapa serpihan kaca menancap di betisku dan darah segar mengalir dari lukanya.
Aku berusaha untuk berlari mendobrak pintu darurat dan keluar menyusuri lorong jalur evakuasi. Mikrofon dan CCTV yang menempel di setiap sudut mengarah padaku dan memancarkan sinar berwarna kemerahan.
Pria-pria itu mengejarku dari belakang. Lalu aku berlari dan bersembunyi di Ruang Janitor.
"Jam kerja anda bel-" kututup mulut AI yang sedang membersihkan lantai.
Kurasakan tetesan air mataku mengalir dari sudut mataku, "Kumohon. Tolong aku." bisikku.
Telapak tanganku melepaskan mulutnya perlahan. AI itu hanya menatapku kosong. Sebuah mesin akan selamanya menjadi mesin. Tanpa emosi, tanpa jiwa, tanpa empati. Dan mereka hanya melakukan apa yang telah diperintahkan.
Seketika AI itu menengadah ke arah kamera CCTV ruangan ini.
"Apa yang kamu lakukan ?" bisikku dengan curiga.
"Membajak kamera agar kita tidak diincar." jawabnya dengan datar.
Aku menghembuskan napasku dengan lega dan duduk di kursi. Pas sekali. Saat aku mulai menyandarkan punggungku, beberapa security guards dengan seragam anti-peluru serta senjata mereka mengepungku.
Aku sangat terkejut dengan semua perlakuan AI itu. Kutatap kedua mata kosongnya tajam-tajam. Aku tidak pernah sebenci ini dengan sebuah mesin android yang mereplika kehidupan manusia.
Pria-pria itu memborgol kedua tanganku ke belakang dengan kuat. Penjaga di sampingku menyodorkan pistolnya ke kepalaku. Mereka menggiringku keluar dari lorong.
Aku berpikir keras mengenai sebuah cara untuk kabur. Dengan keras aku menendang salah satu penjaga itu. Sialnya nasibku hari ini tidak berpihak sama sekali. Penjaga yang lain menarik pistolnya dan peluru itu mengenai salah satu betisku. Aku mengerang kesakitan dan berusaha untuk tetap berlari dengan stabil.
Dasar pengkhianat...
AI sampah...
Kugenggam pegangan besi dan menuruni tiap-tiap anak tangga secepat yang kubisa. Darah terus mengucur dari betisku. Hatiku mulai terasa lapang saat melihat pintu jalur evakuasi semakin dekat dari pandangan.
Aku akan bebas.
Dengan segera salah satu tanganku memutar pegangan yang mengunci pintu darurat itu. Sebuah peluru dengan cepat melesat ke antara kedua alisku.
*****
"Ini yang kau dapat jika kau berusaha kabur dariku." ujar pria bertubuh gemuk itu dengan tatapan tiada ampun, Manajer Choi. Ia lalu menurunkan pistolnya saat beberapa petugas keamanan serta penjaga mulai berdatangan.
Beberapa penjaga menyeret jasad remaja malang itu ke sebuah pintu besi dan melemparnya begitu saja ke tumpukan model AI lainnya, ia hanyalah sebuah prototipe boneka yang rusak. Sebuah cairan berwarna merah sebagai imitasi sel darah merah manusia itu masih mengalir dari bagian tubuh prototipe malang itu.
Manajer Choi menatap tajam asisten loyalnya. Ya setidaknya ia masih loyal sampan detik ini.
"Sekarang kau dapat pelajaran berharga? Valorie sayang?" tanyanya sembari menyeringai seperti serigala yang siap melahap Valorie hidup-hidup.
Valorie menganggukkan kepalanya dengan pelan untuk mencari aman, "Ya, Tuan."
Tangan penuh dosa Sang Manajer itu menepuk pundak Valorie.
"Senang mendengarnya."
*****
(Author's Note)
Bonjour/Bonsoir!
Terima kasih banyak sudah setia baca novel saya. Saya mohon maaf atas keterlambatan update berhubung mood yang kadang kurang bagus dan kesibukkan acara lainnya.
Jangan lupa Vote and Comment!
-Blanche.
KAMU SEDANG MEMBACA
Against the World
General Fiction(PERINGATAN: Novel ini mengandung konten kekerasan dan mengangkat tema sensitif. Pembaca diharap bijak memilah dan jika sekiranya tidak nyaman, mohon jangan dibaca.) Tidak ada cara lagi selain menyuarakan hak kita. Pertumpahan darah bukan lagi cara...