part 1

18.4K 615 37
                                    


"Mas.. Ada yg mau aku bicarakan" ucap Dina mendekati Ardi yang sedang memainkan handphonenya.
"Hmm.. Ya. Bicaralah" kata Ardi, tapi tak berhenti memainkan handphonenya.
"Bisakah kamu letakkan sebentar hp mu? Aku ingin bicara serius" ucap Dina agak kesal.
"Sudah, bicaralah. Aku tetap mendengarkan." Ardi tetap tak beranjak dari gadgetnya.
"Baiklah. Aku ingin bercerai" Kata Dina dengan nada berat.
Mendengar itu, Ardi langsung menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah Dina. Sambil tersenyum sinis, Ardi berkata "Cerai? Kamu yakin? Apa masalahnya. Jangan seperti anak kecil. Sedikit sedikit marah. Sedikit sedikit ngambek. Sekarang minta cerai. Kamu pikir gampang?"
"Aku serius. Dan aku yang akan mengurusnya. Kamu tinggal tanda tangan saja" jawab Dina yang semakin kesal karena Ardi bahkan tidak mencemaskan permintaannya. Sambil menahan emosi, Dina beranjak meninggalkan Ardi.
Ardi hanya memandang Dina, dan kemudian lanjut memainkan handphonenya.
-----------------------------------------------------------------------------
"Cerai? Kamu yakin Din? Bukannya rumah tanggamu baik-baik saja?" Lia, sahabat Dina, tak percaya dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu.
"Yahh.. Aku minta tolong, bantu aku mengurus berkas-berkas itu. Aku ingin kamu jadi pengacaraku. Nanti sambil aku ceritakan alasannya" Ujar Dina sambil menghapus air matanya.
"Sebagai seorang pengacara, aku akan membantumu. Tapi sebagai sahabat, aku mau kamu memikirkan lagi rencanamu ini" Lia berusaha menenangkan sahabatnya. Lia tau, Dina bukanlah orang yang mudah menyerah. Tetapi jika kali ini dia menyerah, berarti ada masalah yang ia tak sanggup untuk menahannya.
---------------------------------------------------------------------------
Dina menangis sesenggukan di dalam kamar. Sejak saat itu  Ardi bahkan tidak menanyainya apapun. Bersikap cuek, dan tidak peduli. Dina tak percaya, bahwa Ardi sama sekali tidak menenangkannya. Justru ia semakin bersikap dingin dan menganggap tidak terjadi apa-apa.

Ia ingat saat dulu baru menikah dengan Ardi. Ardi selalu membuatnya tersenyum, jika ada masalahpun, Ardi selalu berusaha menenangkannya. Tapi sekarang, menanyakan keadaannya pun tidak. Semakin memantapkan ia untuk bercerai.

-----------------------------------------------------------------------------
"Kenapa Bro? Lesu amat" Bagas mengagetkan Ardi yang tengah melamun.
"Dina. Dia meminta cerai"
"What? Seriusan? Bukannya kalian baik-baik aja ya." Bagas tidak percaya dengan apa yang diucapkan Ardi.
"Yah. Aku juga berpikir seperti itu. Sampai saat dia meminta cerai kemarin. Padahal semua kebutuhannya sudah aku penuhi. Ia minta apapun, aku turuti." ujar Ardi.
"Lalu, apa sudah kalian bicarakan baik-baik? Sudah kau tanyakan padanya apa masalahnya?" tanya Bagas kemudian.
"Buat apa ditanyakan? Sudah jelas ia ingin berpisah. Ya sudah biarkan saja." jawan Ardi kesal.
"Bukankah Dina sebatang kara? Lalu apakah ia membicarakan tentang bagaimana nanti setelah bercerai? Harta gono gini mungkin?"
Ardi berpikir sejenak, kemudian berkata, "aku tak memikirkan semua itu. Lagipula buat apa aku bertanya? Dia bilang dia yang akan mengurus semuanya. Aku tinggal tanda tangan saja. Jadi yaa,, pasti dia sudah memikirkan semua".
Bagas menggeleng heran dengan sikap Ardi.
--------------------------------------------------------------------------------------
"Ini. Bacalah. Jika ada yang tidak kamu setujui, katakan saja mas" Dina mendatangi Ardi di ruang tengah.
Ardi yang sedang tiduran, langsung bangun dan menerima sebuah map yang diberikan Dina.
"Apa ini?" tanya Ardi heran.
"Itu adalah apa yang aku bicarakan 2 minggu yang lalu" Dina menjawab sambil berlalu.
Ardi membuka map tersebut, dan membaca isinya. Dia terlihat shock dan tak percaya, jika Dina sungguh - sungguh meminta cerai darinya. Setelah membaca surat itu, Ardi mencari Dina di kamar. Ardi mengetuk pintu, kemudian membukanya. Ia melihat Dina sedang duduk di ujung tempat tidur, sambil memainkan bajunya. Tanda Dina sedang tidak tenang.
"Apakah ini sudah bulat?" Tanya Ardi kepada Dina.
"Ya"
"Sudah kau pikirkan baik-baik?"
"Ya"
"Lalu bagaimana dengan harta gono gini. Disini tidak ada"
"Karena aku tidak membutuhkannya. Aku hanya ingin berpisah"
"Apakah ada laki-laki lain? Apakah kau sudah tidak memiliki perasaan lagi padaku?" tanya Ardi mencari tahu.
"Tidak ada laki-laki lain. Dan perasaanku terhadapmu tetap sama. Aku hanya ingin berpisah."
"Kenapa? Apa yang aku kasih selama ini masih kurang untukmu?"
Dina mendongakkan kepalanya, menatap tajam Ardi.
"Apakah di pikiranmu, hanya harta yang penting?? Apakah dipikiranmu, dengan semua fasilitas ini, cukup untuk membahagiakan aku? Sungguh  kamu sudah berubah mas. Dulu , kamu selalu bisa menenangkan hatiku dengan sikap lembutmu. Tapi sekarang semua udah berubah. Sikapmu semakin cuek. Kamu lebih memikirkan diri sendiri. Tak peduli apa itu membuatku nyaman atau tidak. Kamu lebih mementingkan teman-temanmu. Waktumu habis untuk bermain handphone. Kamu hanya berbicara seperlunya denganku. Saat aku sakit, kamu hanya merawatku sekedarnya. Bagaimana jika kamu yang sakit? Apakah aku melakukan hal yang sama? Kamu selalu berpikir bahwa uang bisa membahagiakan aku." Dina mulai mengeluarkan unek-uneknya.
"Hah... Aku pikir kenapa. Bukankah ini sudah kau bahas berkali-kali. Tapi beginilah aku. Aku bukan orang yang romantis yang harus memberi bunga setiap hari. Aku bukan orang lebay seperti itu." Ardi berkata sambil kesal.
"Aku tidak memintamu memberikan aku bunga setiap hari mas. Aku hanya minta perhatianmu. Bahkan saat chatting denganku pun, kamu hanya chat seperlunya dan sekedarnya. Tetapi kalau dengan teman-temanmu, bahkan sampai malam pun tak lelah kamu membalasnya dengan kata-kata yang panjang" Dina melanjutkan ceritanya.
"Kita bertemu setiap hari. Mau bicara apa lagi?" Ardi heran dengan kemauan Dina.
"Untuk itulah. Aku berpikir, alangkah senangnya menjadi temanmu saja. Kamu tidak pernah perhitungan dengan mereka. Mau keluar berapapun, mau minta apapun. Kamu selalu berusaha membuat mereka nyaman. Selalu berusaha membuat mereka senang. Tapi istrimu ini? Padahal aku yangs selalu ada disisimu." Dina semakin emosi, karena Ardi tak mau mengalah.
"Sudahlah.. Kalau emang kau mau kita berteman. Ya sudah. Berteman saja. Aku akan tanda tangani surat itu. Tapi sebelum aku tanda tangani surat itu, aku minta syarat"
"Apa itu?" Tanya Dina.
"Sementara kita berpisah dulu, selama 1 bulan. Kita sama-sama merenungkan. Apakah sudah mantap untuk berpisah. Terserah, kau apa aku yang keluar dari rumah ini" Kata Ardi. Dia berpikir, bahwa Dina takkan bisa hidup tanpa dia. Karena Dina tidak memiliki orang tua, ataupun kerabat.
"Baiklah. Aku yang akan keluar dari rumah ini. Aku akan bawa beberapa pakaianku. Barang-barangku, aku titipkan disini dulu. Nanti akan ku cicil untuk mengambilnya."Jawab Dina mantap. "Besok pagi, aku akan pergi. Sekarang tidurlah" sambung Dina.

Ardi tak percaya, Dina memilih untuk pergi. Ia pikir, Dina memintanya untuk pergi. Ardi kemudian meninggalkan Dina sendiri dan tidur di ruang tengah. Sejak permintaan Dina itu, mereka tidur di ruangan terpisah.

---------------------------------------------------------------------------
Saat subuh, Dina bangun. Ia kemudian mandi dan shalat subuh. Setelah selesai, ia pergi ke dapur untuk memasak. Dina berpikir, dia masih istri Ardi, dan ia masih tinggal dirumahnya. Maka Dina merasa masih harus memasakkan Ardi makanan.
Setelah selesai memasak, Dina mempersiapkan diri untuk pergi. Beberapa baju ia masukkan ke koper.
Setelah dirasa sudah cukup, ia kemudian keluar kamar. Saat melintas ruang tengah, ia heran. Bagaimana Ardi bisa senyenyak itu, sedangkan ia tidak bisa tidur semalaman. Tapi Dina hanya menghela nafas, dan beranjak pergi.
Dina memanggil taksi online. Ia pergi menuju rumah Lia.

-------------------------------------------------------------------------------
Ardi terbangun dan melihat jam. Ternyata sudah siang. Seketika ia ingat, bahwa hari ini Dina akan pergi. Langsung ia bangun dan menuju kamar. Saat pintu dibuka, ia tak menemukan Dina di dalam. Kamar begitu rapi. Ia bergegas menuju dapur. Biasanya Dina ada disana. Ternyata di dapur pun kosong. Ia melihat ke meja makan, dan tersenyum. Dina sudah menyiapkan sarapan untuknya. Ia pun menyantapnya dengan lahap. Berpikir bahwa Dina akan kembali padanya.
Karena terbukti Dina masih perhatian terhadapnya.

-----------------------------------------------------------------------------------
"Beneran Ardi minta gitu? Ckck.. Keterlaluan. Bukannya menenangkan malah dia menyetujuinya seperti itu." Lia emosi mendengar cerita sahabatnya.
Dina tersenyum kecut, dan berkata, "biarlah. Mungkin sudah jalannya. Sekarang yg penting adalah bagaimana aku bisa dapet penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari"
"Tak usah kau pikirkan itu. Tenang tenanglah disini. Penghasilanku cukup untuk makan kita berdua" Ujar Lia sambil menepuk pundak sahabatnya.
"Tetap saja aku harus mencari penghasilan. Karena aku g cuma butuh makan" Dina tersenyum melihat sahabatnya peduli dengannya.
"Yah.. Aku kerja dulu . Makanan ada di dapur. Kalau ada apa apa, telepon aku."
"Baiklah. Terimakasih"

Pandangan Dina kosong. Memikirkan suaminya yang ditinggal di rumah sendirian.
----------------------------------------------------------------------------------------

PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang