part 6

17.5K 666 82
                                    


"Sudah dibilang, jangan menikah dengan wanita yang tak jelas silsilahnya" , kata Ibu Ardi memarahinya sambil membersihkan ruang tamu.

"Sudahlah bu, aku lelah", kata Ardi sambil merebahkan diri di sofa.

"Kalau anak nggak punya orang tua sejak kecil, pasti gitu. Nggak ada yang didik", ocehnya terus.

"Sudah untung kamu mau sama dia. Harusnya dia pintar-pintar mengurus suami. Waktu bapakmu masih ada dulu, ibu nggak pernah meninggalkan dia begitu saja. Kenapa anakku malah dapat istri yang nggak bener mengurus suami?"

Ruang tamu sudah rapi, ibu Ardi kemudian duduk di sofa. Ia melihat anaknya sedang memijat kepalanya.

"Sudahlah bu, Dina nggak seperti itu. Dia masih bisa mengurusku"

"Kalau kamu membelanya seperti itu, dia nggak akan mau ngerti. Malah ngelunjak", ujar ibu Ardi kesal.

"Ya sudahlah... Berdebat dengan ibu juga tidak menyelesaikan masalah. Lagipula, ibu juga tidak pernah menyukai Dina" jawab Ardi sambil bangun dari tidurnya, kemudian mengambil posisi duduk.

"Tentu saja ibu harus pilih-pilih siapa yang pantas jadi istrimu, kamu kan anak satu-satunya, bagaimana bisa ibu membiarkanmu salah pilih istri!"

"Tapi Dina juga yang sudah membantu usahaku seperti ini", kata Ardi membela. Walau bagaimanapun, ia tak suka kalau ada orang yang menjelek-jelekkan Dina, termasuk ibunya.

Ibunya mendengus kesal. Ia tak suka jika Ardi membela Dina seperti itu. Ia sangat berharap tidak memiliki menantu seperti Dina.

"Ck... Guna-guna apa yang sudah diberikan Dina padamu", kata ibunya, lalu meninggalkan Ardi ke dapur.

--------------------------------------------------

"Aku harus pulang, Li" , kata Dina sambil menghapus air matanya. Ia menceritakan dengan siapa dan apa saja yang dibicarakan di telepon.

"Buat apa? Kamu mau nambah masalah? Ibu mertuamu nggak mungkin diam saja. Pasti caciannya akan lebih banyak dari yang kamu terima ditelepon", cegah Lia sembari memegang lengan sahabatnya itu.

"Tapi aku nggak mau, masalah rumah tangga ini diketahui oleh ibu", jawab Dina. Ia tertunduk, membayangkan bagaimana ibu mertuanya itu akan memarahinya dengan berbagai macam makian. Sudah sering Dina mendengar sindiran-sindiran ibunya. Entah itu mengatakan anak sial, atau anak tidak jelas. Ibunya sering membicarakannya di depan keluarganya.

"Ya sudah... Biar aku antar kamu pulang. Setidaknya ibumu tahu, kamu bersamaku", kata Lia mengalah.

Dina mengangguk. Kemudian beranjak mengambil tas nya.

"Aku tinggalkan baju disini. Aku takut ibu curiga kalau aku bawa baju-bajuku", kata Dina setelah selesai bersiap.

"Oke. Kalau udah siap, yuk berangkat", Lia keluar dari kamar, mengambil kunci mobil, kemudian menuju garasi. Sedangkan Dina memeriksa kondisi rumah, kemudian mengunci pintu depan dan menunggu Lia di luar.

----------------------------------------------------

"Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku ya", kata Lia sesampainya di depan rumah Ardi. Dina mengangguk lesu. Tampaknya ia ragu dan juga takut. Berbagai hal buruk ia pikirkan. Tapi ia segera menepisnya dan berharap semua baik-baik saja.

"Aku turun Li. Makasih ya", kata Dina sambil tersenyum kecut.

Lia mengangguk.

Setelah Dina keluar dari mobil, kemudian Lia pun meninggalkannya. Lalu ia berjalan gontai menuju rumahnya. Entah kenapa rasanya begitu berat ia melangkahkan kaki. Terbayang raut wajah mertuanya itu. Tampak sekali kalau ia tidak suka dengan Dina.

"Assalamualaikum", kata Dina sesampainya di depan pintu rumah. Ia membuka pintu, dan mendapati ibu mertuanya sedang duduk di sofa sambil membaca majalah. Tanpa menjawab salamnya , ibunya menatap sinis ke arahnya.

Sadar bahwa menantunya datang, ia lantas menutup majalah yang sedang ia baca. Lalu dengan tatapan benci, ia berdiri tanpa mengalihkan pandangannya.

Dina yang sadar dirinya sedang dipandangi dengan tidak enak, tetap berjalan mendekat ibunya, berniat untuk  mencium tangan ibunya. Baru saja ia mengulurkan tangan, ibunya menepis uluran tangannya. Tidak mau disalami.

"Ngapain kau pulang? Apakah urusanmu sudah selesai? Atau kau pulang karena takut aku marahi?" kata ibunya sambil berkacak pinggang.

Ardi yang mendengar suara ibunya, segera menghampirinya. Ia tampak terkejut melihat Dina pulang.

Dina tetap menunduk. Ia tidak menjawab atau membantah ibunya.

"Bagus yaa... Rumah sudah beres, baru pulang. Seperti ratu", ibunya tidak berhenti memarahinya.

"Dari jam berapa kau pergi hah?"

Dina yang mendengar pertanyaan ibunya terkejut, karena ibunya bertanya dengan nada tinggi. Awalnya bingung, lalu Dina menjawab dengan terbata, "ee... Sebenernya saya pergi sudah dari..."

"Tadi siang, bu. Aku yang mengizinkannya untuk pergi. Lagipula dia jarang keluar rumah" kata Ardi berusaha menutupi masalah rumah tangganya.

Dina menatap Ardi, kemudian menundukkan kepalanya. Entah kenapa, Ardi tetap melindunginya walau ada permasalahan yang begitu besar.

Ibunya melengos, kesal. Anaknya tetap saja membela istrinya, hingga ia tak bisa melanjutkan amarahnya. Dari awal perkenalan mereka, ibu Ardi sudah tidak suka dengan Dina. Baik karena dia tak punya orang tua atau saudara, juga karena ibunya sebenarnya sudah memiliki jodoh untuk Ardi.

"Pergilah ke kamar, istirahat", kata Ardi menyuruh Dina untuk meninggalkan ibunya.

Dina mengangguk dan menuruti perkataan Ardi. Ia lalu berjalan sambil menunduk menuju ke kamarnya.

"Kamu terlalu sering membelanya. Hingga ia menjadi manja dan tak tahu diri seperti itu. Sudah untung dia jadi istrimu. Dia tak bekerja dan hanya mengurus rumah, masih saja kurang, malah keluyuran. Terus saja bela istrimu, ibu akan tetap tak menyukainya", kata ibu Ardi sambil pergi ke ruang tv. Ia mengambil tasnya, bersiap untuk pergi.

"Ibu mau kemana malam-malam begini?", tanya Ardi kepada ibunya, setelah ibunya sampai di ruang tamu sambil membawa tas.

"Ibu mau pulang. Dari tadi dia datang, rumah ini jadi terasa panas. Ibu tidak betah", kata ibunya seraya berteriak, agar Dina dengar.

"Menginaplah dulu bu. Besok pagi aku antar", kata Ardi berusaha membujuk ibunya. Walau bagaimanapun, ia tak tega ibunya pulang malam-malam.

"Tidak. Ibu nggak mau tidur satu atap dengan istrimu. Biar ibu pulang. Panggilkan saja taksi untuk ibu", kata ibu Ardi kemudian.

"Biar aku antar", Ardi membalikkan badan untuk mengambil kunci mobilnya.

"Tidak usah. Kamu istirahat saja. Kalau memang tidak mau memanggilkan taksi, tidak apa-apa", ibu Ardi menarik tangan Anaknya. Mencegahnya mengambil kunci.

"Hhh... Baiklah. Ibu tunggu sebentar, aku panggilkan taksi dulu" , kata Ardi akhirnya. Ia mengalah, karena tahu, ibunya sungguh keras kepala.

---------------------------------------------------

PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang