PENYESALAN

24 3 3
                                    

Ari pun mengangkat microfonnya, "Apa yang sedang Anda lakukan di depan sana? Apa Anda tidak akan memulai mempresentasinya?"

Ari pun tak bisa menunggu lebih lama lagi, akhirnya ia mengangkat tangannya dengan mengepalnya dan mengeluarkan dua jari, yaitu telunjuk dan tengah. Lalu ia mengarahkannya kedepan, "Ambil alih dr. Irfan."

Irfan pun mengambi alih presentasi dari Putri lalu mempersilahkannya duduk. Rapat pun mulai.

Selesai rapat, semua peserta rapat kembali pada pekerjaannya. Ari yang baru akan merebahkan badannya di diatas sofa ruangannya langsung dikejutkan oleh Irfan yang tiba-tiba masuk kedalam ruangannya.

"Ari! Ada yang nyariin tuh."

Sambil meletakkan lengan kanannya menuti bagian matanya ia pun menjawab, "Siapa yang nyariin aku dijam istirahat ini?"

Irfan pun mendesah dan berkata, "Manatau aku. Cewek dia."

Tak lama, orang yang dimaksud pun datang dan Ari mempersilahkannya duduk. Ia pun memperkenalkan diri sambil memberi kartu namanya.

"Saya Putri Marlidiana, reporter kasus malpraktik siswa SMA tahun 2004 silam. Hmmm... saya agak tertarik dengan cerita itu. Jadi saya disini untuk menawarkan wawancara mengenai kasus itu. Saya juga dengar kalau kakak kelas kamu itu juga seorang dokter disini ya? Bahkan anak direktur? Wah... takdir sempurna."

Saat mendengar itu, Ari pun langsung goyah dan mengalihkan pandangannya. Tanpa pikir panjang, Ari langsung menolak untuk berkomentar masalah 13 tahun yang lalu dengan alasan bahwa itu adalah kejadian yang sangat lama, dan ingatannya pun samar-samar tentang itu.

Dengan kata-kata manis reporter itu terus membujuk Ari agar ia bercerita tentang masalah itu, tetapi Ari terus menolaknya.

"Balas dendam itu dibenarkan juga dalam kehidupan, karena hukum lebih sering tumpul untuk orang teratas seperti dia. Saya bersedia membantu, dengan beberapa koneksi berita saya," jelas Putri.

Ari pun menjawabnya, "Jika itu dibenarkan, apa bedanya kita dengan orang seperti mereka."

Reporter itu pun mengambil tasnya lalu pergi. Ari pun memegangi kepalanya karena pusing dengan masalah itu. Saat ia dilema dengan beberapa kata Yadi tempo dulu.

Yadi pun membuka matanya, "Ri, ja...ngan...ba...las...."

Ari dengan Air mata yang deras, "Apa maksudnya Yad. Gak usah bicara lagi bodoh! Kau ngapai lindungin kayak super hiro,"

Ingatan itu terus muncul dikepala Ari saat ia berencana berbuat sesuatu untuk melukai Fitri. Saat ia dipusingkan dengan hal itu, Irfan datang dengan dua gelas kopi ditangannya.

"Wah, pangeran kita satu ini selalu pusing dengan hal yang tak penting ya," seru Irfan sambil memberikan kopi kepada Ari.

Ari langsung memandang sinis kepada Irfan, "Kenapa Abang belum berubah juga dari dulu, Abang dah tua lo."

"Huh, Lu juga dah tua geblek. Kita Cuma beda 2 tahun. Beraninya bilangin orang tua," kata Irfan sambil mengepalkan tangannya, kesal.

"Jadi, masih pusing ya sama reporter itu?" terus Irfan.

Ari pun terkejut dan bertanya kepada Irfan, "Kayak mana abang tau?"

Irfan dengan bangganya mengatakan bahwa dirinya selalu tau apa tentangnya, jadi tak perlu terkejut apa yang ia katakan.

Disela-sela mereka berbincang, Irfan menyinggung beberapa hal tentang Yadi.

"Oh ya Ri, kayak mana orang tau Yadi? Gak ganggumu?"

Ari pun menjawab, "Maksud Abang nyalahiku gituh?"

Irfan pun hanya mengangguk dan Ari melanjutkan perkataannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rintik HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang