Mereka Abadi. Tidak Kenal Mati

44 5 0
                                    

Sore itu aku berjalan bersamamu. Kala jingga hampir menguraikan cahayanya secara sempurna. Riuh angin terasa menyapu wajah. Suara burung camar terdengar samar. Langkah kita berkelana pelan menelusuri jalan setapak. Desa ini tempat kita terlahir. Dan tempat kita di takdirkan untuk bertemu.Tiba-tiba pemikiran itu muncul. Sekelebat kenangan bermain di kepala. "Aku masih ingat, saat dulu kita bermain di sini." Aku menatap ke arah pemandangan hijau persawahan yang membentang di sekeliling.

Kau menoleh. Matamu nampak berkabut. Seolah baru saja terbangun dari mimpi. Atau mungkin dari lamunan panjangmu. Meskipun kau terdiam sebentar, akhirnya senyuman mu terulas. Kau mengangguk kemudian berkata, "Benar, rasanya waktu berlalu begitu cepat."

Aku terkekeh dan kau menoleh. Matamu menyorot tanya. "Untuk apa kekehan itu?" tanyamu.

"Tidak, hanya memikirkan betapa benarnya ucapanmu barusan."

Tiba-tiba semuanya terasa canggung. Obrolan kita tersendat. Justru desau angin yang membelah hening.

"Waktu memang terus berlalu. Satu-satunya hal yang mampu melewati ruang dan gravitasi. Merasuk jiwa manusia. Membawa kita pada suatu proses yang sering kita keluhkan. Mereka membantu kita menciptakan kenangan," tuturmu kemudian. Suaramu terdengar sengau. Seolah kau terpaksa mengatakan itu. Seolah ada beban yang menggelantungimu.

Langkah kita masih berlanjut. Jantung kita masih bertabuh. Namun tidak dengan pikiran kita. Mereka terhenti pada satu titik. Tidak mengenal jenuh. Tidak mengenal henti. Satu titik dimana kita pernah saling mengasihani.

"Kenangan yang ingin kau lupakan." Mulutku terasa kering saat mengatakan kalimat itu.

"Tidak ada yang bisa menahan mereka. Kenangan memang abadi," sahutmu.
"Dan pemaksa," timpalku.

"Kamu akan ke mana setelah ini?" kau bertanya seraya memaku mataku.
Rasanya mulutku sudah gatal ingin berkata. Aku ingin berkata, setelah ini aku tidak akan ke mana-mana. Tetap di sini. Tetap menjadi orang bodoh dan dangkal. Orang bodoh yang akan tetap menunggu, meskipun yang ditunggu tidak akan pulang dan kembali. Meskipun yang ditunggu tidak akan pernah dimiliki.
Meskipun aku ingin menyahut begitu, tetap saja itu tidak akan terjadi. Mereka selalu bertolak belakang. Keinginan dan kenyataan.

"Aku akan kembali ke Jakarta. Masih ada dua Semester lagi sebelum sarjana."
Aku menatapmu. Memastikan respon apa yang akan kau berikan. Sinar matahari mengenai wajahmu. Rambutmu berantakan karena rayuan angin. Sejenak aku merasa munafik. Hingga saat ini, jantungku bahkan tidak mampu berbohong. Betapa banyak hal dari dirimu yang ternyata masih mampu membuat jantungku berdegup kencang. Aku masih gugup dan terpesona pada ketampananmu. Waktu ternyata memang hebat. Begitu mudahnya ia menggantikan anak kecil ingusan yang dulu sering kuejek menjadi lelaki tampan penuh pesona. Aku selalu terpesona. Sama seperti aku yang selalu jatuh secara sukarela.

"Ah, Sarjana Ekonomi. Aku bangga padamu." Kau tersenyum. Senyuman separuh yang tidak sampai mata. Seolah kau sama sekali tidak menyukai apa yang keluar dari mulutmu.

"Kau juga?" tanyaku.
"Aku?"
"Setelah ini kau juga akan pergi."
"Tidak, aku tidak pergi. Aku masih di sini," sahutmu cepat.

Entah sejak kapan langkah kita terhenti. Kita saling memandang di pertengahan jalan setapak. Dikelilingi hamparan sawah. Sore itu, ditemani desau angin dan suara burung camar. Di bawah sinar senja, aku kembali berharap. Kamu tidak akan tahu, seberapa besar aku ingin perkataanmu itu adalah sebuah kenyataan.

"Benar. Tapi tidak dalam artian bagiku. Kau akan pergi."
"Jangan begini,"
"Semuanya berbeda. Setelah hari ini, tidak akan ada yang sama lagi."

Kau menggeleng. "Bukan salahku,"
Kemarahan ada dalam suaramu, "Jika ada seseorang yang patut disalahkan untuk semua ini, maka kamu lah orangnya. Kamu yang pergi dan meninggalkanku," lanjutmu.

Benar lagi. Kau selalu benar. Aku memang salah. Aku terlalu egois. Hingga saat kau memintaku untuk bertahan, aku justru keras kepala dan melangkah keluar. Melangkah pergi.
Kakiku goyah. Napasku hampir tersendat. Ini seperti percakapan kita sudah menguras tenagaku.
Aku ingin memperbaiki semuanya. Itulah alasanku kembali.

Tapi kembali benar-benar kembali. Kita bertemu dan saling memperbaiki. Tapi tidak hubungan kita. Tidak untuk kembali memiliki.

Aku tersenyum masam. Kerongkonganku terasa pahit. Untuk kesekian kalinya aku kembali memilih menghindar dan menjadi pengecut.

"Sudah malam. Sampaikan salamku pada istrimu." Dengan kalimat itu, aku segera berbalik dan berjalan meninggalkanmu. Aku bahkan tidak mau menunggu balasanmu.

Kembali lagi. Pada gadis yang pengecut. Tidak ada lagi yang tersisa. Kecuali kenangan. Benar, kenangan memang abadi. Seperti katamu.

••••

Mereka Indah Karena Mereka Muncul dari HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang